Part I
Atmosfer berbeda kini kurasakan saat aku mulai memasuki bandara King
Abdul Aziz, Jedah. Saat kakiku mulai memasukinya, pandanganku disambut dengan
banyak keindahan ornamen. makkah memang begitu indah. Lantainya terbuat dari
marmer, dan ornamen-ornamen hiasan dindingnya terbuat dari batuan-batuan alam
yang sungguh mempesona. Inilah kota kelahiran Rasulullah yang menjadi pusat
menyempurnakan rukun islam. Aku sangat
bersyukur karena bisa datang di rumah Tuhan yang menyimpan seribu rahasia dan
keunikan ini.
Makkah adalah kota penting umat islam, dan banyak diimpikan oleh
mereka diseluruh dunia. Makkah al-Mukarramah, Kota yang hanya dulu kudengar
lewat buku sejarah dan keterangan dari guruku, kini ada didepan mataku. Aku
sungguh bersyukur hingga bahasaku tak mampu mengekspresikan kegembiraan hati
ini.
Di Lobby aku menunggu koperku, aku datang ke kota ini bukanlah
dengan niat ibadah seperti umumnya orang. Aku datang ke sini, karena ada tugas
yang harus kuselesaikan. Sebagai seorang jurnalis aku harus mengisi beberapa
kolom edisi khusus yang membahas tentang Makkah. Kesempatan besar ini tak akan
ku lewatkan dengan sia-sia. Saat pertama kali Bos menawarkan kepadaku untuk
mengisi kolom itu, aku langsung menerimanya tanpa pikir panjang, entah
bagaimana nanti yang penting aku ingin menginjakkan kaki di sini.
Kedatanganku sudah disambut oleh seorang wanita cantik berdarah asli
Indonesia, tapi sekarang dia pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Arab.
Entah apa yang membuat dia lebih nyaman disini, mungkin saja karena dia bisa
lebih bertaqarrub dengan Tuhan dan bisa
bolak balik ke Ka’bah tanpa harus membuang banyak uang.
“Medina??” tanya wanita itu
“Na`am. Ana”
“Masmuki ya Ukhti,?” tanya dia lagi
“Ana”
“Ismuki,, emmmm na,, nama anti.”
Ku kerutkan kedua alisku, sudah dua kali aku menjawab namaku Ana,
tapi dia masih bertanya terus. Ku hela napas panjang waktu aku ingat bahsa Arab
saya kan ana,, hihihi aku jadi tertawa sendiri saat tau kalau aku harus
menempatkan sesuatu pada tempatnya, kalau nggak kan jadinya begini. Hemm, tapi
aneh juga kalau Hafsoh sudah lupa dengan bahasa ibunya dulu.
“Medina.”
“ana Hafsah,!! mari ikut saya.”
Katanya tersenyum dengan mengambil koper yang ada disampingku.
Hafsah yang akan menemaniku selama aku disini. Selama tiga minggu disini aku
akan mencari informasi banyak tentang Islam. Dan aku akan mencoba mengumpulkan
serpihan-serpihan sejarah yang belum terekspos oleh media.
Hafsah mengajakku ke apartemen yang telah disediakan Bosku di tanah
air, Bos memilihkan apartemen yang tak jauh dari Masjidil Haram. Betapa
senangnya aku, tentu saja aku sangat senang sekali karena bisa langsung ikut
berjamaah di masjid al-haram, itu planning pertamaku sebelum aku memulai hariku
disini. Selama perjalanan tadi, aku sangat senang karena Hafsah banyak cerita
apa saja yang ada di sini, terutama hal-hal yang terkait dengan Islam. Waktu
perjalanan tadi aku juga sangat senang karena disuguhkan dengan
pemandangan-pemandangan menakjubkan, seperti gedung-gedung pencakar langit yang
ada disamping kanan kiri jalan raya.
Saat aku sekolah dulu, aku hanya membayangkan bahwa Makkah adalah
kota yang ada di tengah padang pasir, jauh dari hingar bingar masalah dunia
atau yang lainnya. Ku pikir dulu, tidak ada gedung-gedung seperti itu, tapi
sekarang aku menyaksikan keindahan-keindahan itu sendiri didepan mataku, dan
bangunannya sungguh luar biasa.
“Ukhti, ayo diminum dulu.” Kata Hafsoh dengan membawakanku teh
“Iya.”
“Hafsah, di mana rumahmu,?”
“Rumahku nggak jauh dari sini. Besok-besok aku akan mengajak anti
datang ke sana.”
“Siippp.. aku tunggu ya!!”
Hafsah adalah wanita berparas cantik, dia sudah menikah dengan
laki-laki berdarah asli Arab. Dan sekarang dia sedang hamil anak ke tiga,
waaah,,, sungguh mengagetkan sekali. Karena saat pertama kali aku melihat
Hafsah, kupikir dia belum menikah. Yah,, karena wajahnya masih sangat muda
ditambah lesung pipi yang menambah kecantikannya. Wajah dia seperti halnya
wajah ku tipe oriental, tapi waktu dia memperlihatkan foto-foto anaknya,
wajahnya sudah tidak terlihat seoriental dia.
Aku seorang jurnalis majalah Paras, namaku medina dan akrab
dipanggil Ana. Tapi disini aku tidak mungkin mengenalkan diriku dengan nama
Ana, hehe,,, takut salah makna seperti Hafsah.
To be Continue……l
Social Footer