Breaking News

Kegiatan Mahasiswa Terancam Akan Aturan Jam Malam

Sumber Gambar: Pixabay.com

Oleh: Kang Badrun

Istilah jam malam yang awal kemunculannya adalah sebuah perintah dari pemerintah agar sekelompok orang atau masyarakat kembali ke tempat tinggal masing-masing sebelum waktu yang ditentukan, kini kembali muncul ke permukaan, terutama di kalangan mahasiswa di Tuban. Istilah tersebut sering digunakan dalam konteks indekos maupun kebijakan beberapa kampus yang mewajibkan mahasiswanya untuk sudah berada di lingkungan indekos dalam waktu yang sudah ditentukan.

Jam malam dulunya juga diterapkan untuk menjaga keamanan umum, seperti saat terjadi kerusuhan dan perang, atau untuk membatasi gerak-gerik kelompok tertentu, seperti jam malam yang diberlakukan pemerintah Jerman Nazi terhadap orang-orang Yahudi.

Kini, isitilah jam malam tersebut muncul kembali dalam aturan yang diterapkan di banyak kampus di Indonesia, termasuk salah satunya di Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban. Peraturan Rektor Nomor: 300/R.KM/IAINU/X/2020 tentang Tata Tertib Ruang Kesekretariatan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dan UKM di Lingkungan Kampus Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama pasal 7 ayat (1) poin (1), mengatakan bahwa penggunaan ruang kesekretariatan ORMAWA dan UKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) mulai pukul 06.00 WIB sampai dengan pukul 22.00 WIB.

Peraturan tersebut, sebenarnya tidak terlalu berlebihan jika diistilahkan dengan ‘jam malam’, hanya kemudian yang jadi pertanyaannya adalah, jam malam ini diterapkan oleh pemangku jabatan di kampus untuk menjaga keamanan umum atau malah justru seperti halnya jam malam yang dilakukan pemerintah Jerman Nazi terhadap orang-orang Yahudi, yaitu untuk membatasi gerak-geriknya.

Namun begitu, sebenarnya kedua alasan di atas juga tetap saja tidak bisa dipakai oleh kampus untuk memberlakukan jam malam. Jika untuk menjaga keamanan umum, apakah dengan mahasiswa berkegiatan hingga malam membuat keamanan umum terganggu? Konyol sekali, bukan? Orang sedang berekspresi untuk menumpahkan kreativitasnya, kok, malah disangka mengganggu keamanan umum. Kalaupun iya membuat berisik bukankah bisa dengan cara yang lebih baik, tidak dengan memberlakukan aturan jam malam yang terkesan memaksakan ini?

Atau jika alasannya untuk membatasi gerak-gerik mahasiswa, ah, gila aja, saya rasa tidak perlu lagi mengutarakan banyak -banyak pendapat saya tentang ini.

Sepertinya yang menerapkan aturan jam malam ini sudah lupa pada Undang-undang Pendidikan Tinggi (UUPT) No 12 Tahun 2012. Sebagai contoh pada pasal 4 UU No 12 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa perguruan tinggi berfungsi mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma.

Ah, ataukah mungkin mereka menganggap aturan rektor lebih tinggi daripada aturan undang-undang pemerintah, sehingga aturan mereka dapat menasikh aturan yang sudah ada? Wih… konyol sekali. Maksudnya tulisan saya yang ini yang konyol sekali. Mana mungkin para professor dan doktor punya anggapan seperti itu, bukan?

Mengapa kemudian saya sampaikan bahwa aturan jam malam ini tidak merujuk pada pasal 4 UU No 12 Tahun 2012? Karena tentu saja, dengan padatnya waktu kuliah mahasiswa yang bahkan hingga sore atau bahkan sekarang hingga malam hari, tiada waktu lain bagi mahasiswa untuk berkegiatan kecuali saat matahari mulai terbenam.

Tentunya, harus dipahami bahwa mahasiswa memiliki kewajiban perkuliahan dengan standar kehadiran yang cukup tinggi, 70%. Jika mahasiswa mengambil kredit penuh, apalagi jika ada praktikum, kapan waktunya untuk mengurusi organisasi, jika bukan pada malam hari? Apakah mahasiswa sudah tidak diperbolehkan lagi berorganisasi?

Siapa pun pasti setuju, waktu untuk berkreativitas dibanding dengan memahami banyak teori di kelas, tentulah waktu yang dibutuhkannya lebih banyak untuk berkreativitas. Tidak tahukah para dosen dan birokrat kampus, bahwa waktu untuk beradu gagasan dalam sebuah rapat demi menghasilkan satu pikiran utuh yang masuk akal itu, membutuhkan waktu yang cukup alot? Atau mungkinkah mereka memang tidak tahu karena dulu lebih fokus untuk segera mendapat gelar sarjana? Atau ketika mereka rapat cuma iya-iyain aja kata Rektor apa?

Jika ruang dan waktu mahasiswa dibatasi oleh aturan jam malam, rentang waktu berkegiatan mahasiswa menjadi lebih sedikit. Lama-lama hal ini akan mematikan eksistensi dari organisasi mahasiswa itu sendiri. Sangat sulit bagi kita untuk membayangkan peran-peran besar mahasiswa dalam dinamika berbangsa jika ada jam malam.

Kampus merupakan tempat tumbuh berkembangnya kaum intelektual. Jika media berkembangnya saja sudah dipapar benih penyakit represifitas, bagaimana mahasiswa akan menghasilkan gagasan yang progresif dan melahirkan pemikiran kritis terhadap kondisi sosial yang ada? Di mana lagi mahasiswa bisa menjadi sebenar-benarnya mahasiswa? Dimana lagi jika di rumahnya saja sudah dikekang?

Sekarang ini bukanlah masa-masa darurat untuk melakukan pembatasan untuk berorganisasi. Jika masalahnya adalah keamanan internal IAINU, kami yakin mahasiswa mau apabila ada protokoler keamanan yang manusiawi. Misalnya, mahasiswa harus menunjukkan kartu identitas setiap masuk dalam kawasan tertib jam malam, sedangkan untuk tamu silakan lakukan hal yang mungkin lebih ketat. Jika perlu, adakan kamera pengawas di setiap tempat strategis seperti pintu gerbang, tempat parkir, dan lain-lain yang dicurigai sebagai tempat terjadinya aksi-aksi pencurian. Toh, pencurian tidak hanya terjadi pada malam hari, justru banyak terjadi pada siang dan sore hari. Pembatasan kegiatan atas dasar keamanan sungguh membuat kita harus membandingkan kondisi pendidikan prareformasi, saat diberlakukannya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).

Rektorat sebagai pemangku jabatan harusnya tidak gegabah dan harus bisa merasakan banyaknya penolakan terhadap usaha pengefektifannya aturan jam malam. Terlihat jelas, mahasiswa membutuhkan tempat untuk bebas beraktivitas, berkreasi, berekspresi, dan bergagas tanpa ada kekangan. Ketika mencari tempat tersebut, organisasilah yang seharusnya menjadi destinasi. Untuk itu, perlu pemahaman yang holistik akan kembang pikir mahasiswa (anggota organisasi) dengan kebijakan kampus, juga fasilitas. Kini kita merasakan bahwa dana organisasi kampus sangatlah minim, ditambah peralatan dan fasilitas yang juga sangat terbatas. Apanya yang terbatas? Ruangan yang tak cukup untuk rapat misalnya.


Tentang Penulis:

Kang Badrun adalah salah seorang mahasiswa IAINU Tuban yang masih aktif. Kang badrun bukanlah nama aslinya melainkan nama samaran, penulis tidak ingin disebutkan namanya dan itu adalah hak privasi baginya. 

Advertisement

Cari sesuatu di sini

Close