Eksistensi Sarung Sebagai Produk Budaya Islam Nusantara
Oleh: Rismaya Nikmatul Hida Saskia Putri
Perkembangan zaman dan masuknya budaya
luar dalam arus globalisasi membuat masyarakat lebih akrab dengan budaya dari
luar negeri. Hal ini juga berlaku pada budaya berpakaian masyarakat kita yang mengikuti tren dari negara lain. Padahal, Indonesia memiliki budaya berpakaiannya sendiri yang merupakan tradisi turun
temurun. Ada
banyak jenis busana produk
budaya Indonesia yang mulai ditinggalkan, salah satunya adalah budaya
mengenakan sarung. Sarung bagi
masyarakat Nusantara mungkin bukan suatu hal yang asing lagi, mengingat pakaian
tersebut sudah mendarah daging mengiringi perjuangan para pendahulu bangsa ini.
Sarung sebenarnya bukan produk asli Indonesia. Pakaian ini berasal dari negara Yaman.
Disana, sarung dikenal dengan istilah "futah" yang mana
mewakilkan sebuah kain yang dicelup ke dalam pewarna hitam (Ensiklopedia Britanica). Kain tersebut dulunya
dibawa dan diperdagangkan oleh para saudagar dari Arab dan Gujarat. Sehingga dikenal di seluruh
wilayah indonesia. Sampai
saat ini, sarung masih tetap digunakan
oleh masyarakat modern Indonesia, baik sebagai pakaian harian, pakaian resmi maupun
pakaian ibadah.
Meski bukan
berasal dari Indonesia, tetapi kita tetap bisa menerima dan bangga menjadikan sarung sebagai budaya
negeri sendiri. Bahkan di berbagai daerah di Indonesia terdapat industri kerajinan sarung
yang menjadi ciri khas masing-masing daerah. Kita bisa turut
berpartisipasi dengan mengenakannya dan merasa bangga karena ini adalah budaya
kita dan masih lestari sampai saat ini.
Baca juga: STITMA Tuban Gelar Pembekalan PPL I dan II
Dalam kebudayaan
Indonesia, sarung sangat erat kaitannya dengan para santri. Sarung juga
digunakan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Kaum santri
memilih menggunakan sarung untuk gaya berpakaian sehari-hari karena tidak ingin
meniru gaya berpakaian Belanda yang lebih cenderung
mengenakan celana dan kemeja. Puncak perlawanan ini terjadi ketika peringatan
Muktamar NU ke-2 pada 1927 di
Surabaya. Disana para ulama mengeluarkan fatwa yang disebut tasabbuh (adopsi)
berdasarkan sebuah hadis Nabi yang menyebutkan bahwa “barang siapa meniru
perilaku suatu kaum maka ia termasuk pada golongan itu”.
Pada saat ini, sarung adalah pakaian
yang melambangkan perlawanan terhadap masuknya budaya baru yang cenderung
kurang cocok dengan budaya Indonesia. Banyak budaya pakaian dari negara Barat yang masuk ke Indonesia
merupakan pakaian yang terbuka. Sebagaimana yang disampaikan Marwan, budaya lokal perlu memperkuat daya
tahannya dalam menghadapi globalisasi
budaya asing. Ketidakberdayaan
dalam menghadapinya sama saja dengan
membiarkan pelenyapan atas sumber identitas lokal yang diawali
dengankrisis identitas lokal (strategi mempertahankan
budaya lokal dari hegemoni budaya asing, 2017).
Sarung penting untuk dilestarikan.
Jangan sampai tergeser oleh pakaian keagamaan dari budaya timur tengah seperti
gamis atau jubah dan bahkan celana cingkrang yang akhir-akhir ini mulai banyak
dipakai oleh generasi Islam. Sebenarnya tidak ada yang buruk dari
pakaian-pakaian tersebut. Semua itu hanya pakaian, simbol dan
ornamen lahir manusia. Yang lebih penting dari itu adalah pemaknaannya.
Namun demikian,
kain sarung juga bukan sesuatu hal yang buruk lantas dibid’ahkan karena
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tidak pernah memakai sarung. Kita
hanya menjaga kekayaan tradisi yang memberikan nilai khas tersendiri. Supaya
identitas kita sebagai bangsa Indonesia yang mempresentasikan Islam Nusantara tidak
luntur begitu saja.
Baca juga: Persiapan KKN
Sarung dan Islam Nusantara adalah satu kesatuan yang
saling melengkapi. Mereka berkelindan mempromosikan
keislaman yang menghargai tradisi dan ramah bak karakteristik orang desa. Seperti kata Gus Dur “bahwa Islam datang ke Indonesia bukan
untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’,
‘sampeyan’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’.
Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, tapi bukan budaya
Arabnya”.
Safril Mubah (2001) dalam buku Strategi
Meningkatkan
Daya Tahan Budaya
Lokal menjelaskan bahwadi era kontemporer ini, ujian
terbesar yang dihadapi budaya lokal adalah mempertahankan eksistensinya di tengah terpaan globalisasi. Strategi-strategi yang jitu dalam
menguatkan daya tahan budaya lokal
juga perlu dirumuskan.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo
turut berperan dalam promosi penggunaan sarung. Melalui beliau, kita bisa
melihat bahwa sarung bukan pakaian kelas bawah, tetapi merupakan budaya yang
harus kita lestarikan. Sering tertangkap kamera beberapa kali beliau
menggunakan sarung diwaktu santai di rumah, ketika melakukan sidak ke beberapa
daerah di Indonesia, hingga ketika menyambut tamu kenegaraan dan acara-acara
kenegaraan lainnya. Misi khusus yang dibawa Presiden RI Joko Widodo ini tidak
lain untuk mendongkrak kembali eksistensi sarung untuk meningkatkan permintaan
di pasar yang akan berpengaruh pada eksisnya industri sarung yang sempat
melemah (Detiknews.com, Minggu 08 Oktober 2017). Banyak dari masyarakat modern yang
enggan menggunakannya karena dianggap kuno dan tidak fashionable.
Padahal hanya butuh sedikit kreativitas dalam mengenakannyaagar tetap terlihat elegan tanpa meninggalkan
nilai kearifan lokal itu sendiri.
Perlu ada kesadaran dari dalam
diri masyarakat bahwa kebiasaan ini harus selalu dilakukan dan dipertahankan.
Hal ini tidak lain untuk melindungi sarung sebagai bagian dari budaya bangsa
Indonesia secara keseluruhan. Lantas jangan hanya berhenti pada diri kita,
lanjutkan dengan mendidik anak cucu kita membudayakan hal yang sama.
Social Footer