Foto: Cak Rul |
Dalam tangis kubermimpi tanpa tertidur. Berangan-angan yang tak pantas tuk dilakukan. Aku sadar betul akan sebuah keadaan. Bapakku hanya seorang tukang becak yang gajinya hanya cukup untuk makan, terkadang juga kurang. Dalam keluarga kecilku terdiri dari 6 orang dan semua butuh makan.
Di malam yang kelam ini aku harus membuang rintihan dan memeras hati dengan keras, hanya saja masalah kecil kuperbesarkan. Tanyaku dibalas dengan panah yang menusuk dalam hati. Aku membuang mutiara aksa, sebab aku telah lelah menerima sebuah keadaan yang tak pernah dimengerti oleh siapapun. Hanya mampu kurasa dan kupaksa untuk tetap optimis menjalani hidup penuh rumit ini. Menyerah adalah hal yang paling mudah, tapi hasilnya nol. Sedangkan berjuang adalah hal yang sangat amat rumit, namun hasilnya sangat menakjubkan.
Ketika diri tak pernah dimengerti, ketika perasan keringat tak lagi berarti. Hanya demi setitik ilmu kuperjuangkan sampai mati, sedangkan engkau seenaknya menodai. Aku mencari setitik ilmu dengan jalan aku belajar bekerja. Alhamdulillah, aku mempunyai seorang pahlawan yang memberikan ilmunya kepadaku dengan ikhlas, juga memberi gaji di setiap bulannya. Tanpa itu, akankah aku mampu untuk membayar biaya kuliah? Sedangkan sang ayah sebelumnya sudah mengekangku untuk kuliah karena ekonomi. Demi cintaku pada ilmu, kuberusaha dengan peluh tanpa ragu.
Saat ini yang kupunya hanyalah semangat orang tua. Dulu mereka sangat berkeinginan besar untuk duduk di bangku sekolah. Akan tetapi sang ibu tak mendapat restu dari orang tuanya. Setiap kali mau berangkat sekolah, seragam pun sangat kotor karena diinjak-injak oleh ibunya.
Semangat juangnya besar untuk mendapatkan ilmu. Dia harus memanggang ikan dan menjualnya di setiap pulang sekolah. Sedangkan sang ayah hanyalah seorang pengembala, dia sengaja menggembala dekat sekolah karena ingin mendapatkan sebutir ilmu. Jika dijabarkan perjuangan mereka, sungguh hatiku tersayat habis untuk membayangkan betapa besar sebuah perjuangan mereka. Sekarang cita-cita mereka hanya satu, ingin melanjutkan sekolah anaknya setinggi-tingginya. Namun apalah daya, mereka hanya seorang petani dan seorang tukang becak. Bagaimana pun juga aku tetap harus berjuang supaya mampu melanjutkan sekolah.
Baca juga: Keluargaku adalah Surgaku
Aku sering berandai-andai sehingga lupa diri. Keinginanku pun amat banyak sampai tak terhitung. Seandainya aku dilahirkan dari keluarga yang kaya raya, pastinya aku tak usah berpayah-payah mencari segenggam uang untuk biaya kuliah. Namun aku sadar, jika aku terlahir dari orang kaya, akankah aku mampu melihat orang yang di bawah? Belum tentu. Setidaknya aku mampu mendaki gumpalan batu yang mengagah dari pada harus berjalan di atas air. Dengan itu aku mampu menjadi jati diriku sendiri tanpa harus menyamarkan diri kepada orang lain. Biarlah orang lain memandangku sebagai orang yang bagaimana, aku tak peduli. Karena kemauannya belum tentu nyaman untukku, begitupun sebaliknya.
Semua itu adalah kata hati yang tersakiti gara-gara bertanya tentang hasil apa yang di dapatkan saat perkumpulan Mapala? Dan salah satu anggota baru menjawab dengan jawaban yang sangat amat pedas kurasa. Aku tau, aku tak pernah tahu kondisinya dan aku juga tahu kalau dia tak tahu kondisiku. Kita sama-sama berjuang, namun perjuangan kita berbeda arah dan latar belakang. Setidaknya jawablah pertanyaan dengan santai dan baik. Cobalah menjadi posisiku, akankah engkau mampu menanggung beban yang bertumpu padaku? Kadang kala aku menangis meratapi nasib. Mengapa aku tidak dari golongan mereka, orang yang kaya, cerdas, bahagia dan lain sebagainya. Sedangkan aku bahagia saja memaksakan diri. Mencoba membahagiakan orang lain malah diasingkan karena aku bukan levelnya. Walaupun seperti itu, aku tak pernah sembunyi untuk membantu meringankan bebannya. Setelah terasa ringan, kamu boleh meninggalkanku.Sudah cukup aku bersabar, akankah harus tetap bersabar. Rasa bosan telah mengepungku, seakan aku tak mampu lepas dari kepungannya itu.
Seringkali hatiku bbergumam,"Jadi orang kaya itu enak, punya banyak teman, bisa kemana saja yang dia mau. Sedangkan aku? Hanya mampu duduk terdiam kaku memikirkan jalan terbaik untuk kulalui menuju cita-citaku.
Selamat berjuang,
Jangan hiraukan lelahmu, karena keringat mu akan menjadi saksi bisu.
Tentang Penulis:
Ninik N.A Daniba adalah nama pena dari Ninik Nur Aini. Kata Daniba merupakan singkatan dari nama orang tuanya dan namanya, yaitu: Darsiti, Ninik dan Bari. Dia tak mau meninggalkan nama orang tuanya di nama pena, sebab tanpa perjuangan mereka dia bukanlah apa-apa. Hanya butiran debu yang ditiup angin sendu.
Dia lahir di Bumi Wali Kota Tuban pada tanggal 23 Mei 2001.
Sekian, terimakasih.
Social Footer