Breaking News

Ketika Kampus Ini di McDonaldisasi

kampus stitma tuban

Kampus Religi Tempat Solusi semboyan inilah yang sering diutarakan ketika pertama kali dunia kampus yang disebut kampus hijau, kampus yang berada di bawah naungan NU, katanya. Nuansa yang terbangun dari semboyan ini adalah baha kamps ini adalah kampus yang memberikan solusi para mahasiswanya ketika mereka yang mengejar ingin kuliah di beberapa kampus ternama di Indonesia terutama di wilayah Jawa Timur yang akhirnya terpatahkan dengan beberapa problem, tidak lulus tes potensi akademik, nilai pas-pasan, finansial yang kurang bersahabat misalnya.

Akan tetapi hal yang lebih menakjubkan datang, Entrepreneur Religius telah menggeser semboyan yang lama dan nuansa tersebut tercipta juga dalam kehidupan kampus yang ada, semua sistem berubah rapi, tegas, disipilin dan terstruktur dengan jelas. Administrasi tertata dengan sistem yang benar-benar apik, semua karena berkat semboyan yang diangkat oleh kampus ini serta tak lupa kinerja orang-orang yang ada di dalamya. Karena latar belakang dari pimpinan kampus ini adalah jiwa bisnis juga maka tak heran jika Entrepeneur-nya sangat dimainkan dan ini membuahkan hasil yang sangat signifikan untuk bisa memengaruhi kehidupan kampus yang religius namun juga bernuansa komersial dalam dunia perdagangan.

Dalam peranannya sebagai wadah mahasiswa yang menuntut ilmu atau bahkan menuntut ijazah semata, sekolah tinggi ini berusaha untuk menaikan levelnya menjadi Institut Agama Islam, berbagai kebijkan katanya demi kelancaran dan tertib administrasi ternyata banyak mendapatkan penilaan dari berbagai mahasiswa  baik mereka yang tergabung dalam organisasi dan yang tidak tergabung.

Kalau memang STITMA mau beralih status dan ingin merubah sistem akademik jangan langsung semuanya disamaratakan terutama dalam kebijakan administrasi pembayaran, karena perubahan juga perlu adanya proses. Sedikit dari penilaian dari sudut pandang mereka yang tidak tergabung dalam organisasi.

Banyak mahasiswa yang takut dengan dosen dengan ancaman nilai, padahal nih banyak juga dosen yang diamanahkan untuk mengajar namun dari segi penampilan oke juga pantas kalau dilihat sebagai dosen, tapi ternyata ketika mengajarkan materi yang diampunya tidak jarang yang bisa dikatakan zonk. Ketika tugas diberikan mahasiswanya sibuk mengerjakannya dengan semampu mereka namun ketika presentasi dimulai dan diskusi sudah diberikan rambu hijau.

Ketika di tengah perjalanan pertanyaan yang dilontarkan untuk didiskusikan oleh mahasiswa dan ternyata presentator tidak mampu menjawabnya, alhasil lemparkan ke dosen pengampu itulah kebiasaan mereka. Di sinilah detik-detik bagi menunggu jawaban yang rasional dan tendensi. Ternyata semua itu terjawab bagai kopi tanpa gula, pahit saja tanpa bisa merasakan manis sekadar menjawab saja dan ternyata dengan modal gelar.

Pernah mengalami juga bagaimana rasanya dosen memberikan nilai yang tidak objektif, bukan penilaian proses yang di ambil namun penilaian mana suka. Jadi jika aktif membantah dosen yang mempunayai karakter tidak suka terlalu banyak dibantah ya otomatis nilai yang akan muncul pasti di bawah mereka mahasiwa yang manut-manut, diam dengan takutnya akan nilai IPK.

Mahasiswa selain mempunyai tanggung jawab akademik juga mempunyai tanggung jawab sosial, realita yang terjadi dalam kehidupan kampus ini adalah banyak mahasiswanya yang tahu bahwa mereka ditindas dengan berbagai kebijakan yang di keluarkan namun mereka tak mampu untuk memprotesnya karena mereka selalu di hantui dengan adanya su’ul adab istilah pesantrenya. Mereka beranggapan bahwa memprotes mereka-mereka (dosen) yang mereka anggap seakan-akan dewa karena dengan kalamnya itulah yang bisa mengantarkan kelancaran mereka dalam menuntut ilmu di sekolah tinggi ini.

Memang iya sih kalau kalam seorang guru memengaruhi kelancaran dalam menerima dan mengamalkan ilmu, namun jika kata mutiara ini dijalankan akan tetapi guru atau sebut sajalah dosen yang ingin di tawadhu’i dalam penyampaian ilmunya saja kurang memadai, dan di situlah dirasakan bahwa pendidikan yang semestinya mampu menghumanisasikan malah mendehumanisasikan.

Ketika semua kehidupan dalam kampus ini selalu dibayang-bayangi efisiensi, kalkulasi, prediksi dan kontrol masa tak salah lagi bahwa kamu ini mulai di McDonaldisasi, pernah  dengar dan membacanya juga bahwa teori konsep McDoanaldisasi yang di perkenalkan oleh George Ritzer, sosiolog Ameika, ini merupakan afirmasi dari rasionalitas weber. Ritzer mengatakan bahwa aspek kehidupan manusia telah mengalami McDonaldisasi yaitu segala perilaku kita mengandung unsur efisiensi, kalkulasi, prediksi dan kontrol layaknya sebuah restoran McDonald. Hal ini sangat relevan dengan kehidupan kampus saat ini.

Hal ini tampak jelas terlihat dalam sistem penganggaran, sistem kerja, dan juga sistem pengendalian dalam birokrasi. Yang menarik dari konsep McDonaldisasi adalah adanya irasionalitas dalam rasionalitas, yaitu dampak negatif dari rasionalitas. Sebagai contoh lumayan juga terkadang kita melihat pelayan birokrasi yang kurang ramah dalam melayani akibat tuntutan efisiensi, hal yang menarik lain dari McDonaldisasi adalah adanya paradoksal dari Prinsip McDonaldisasi.

Pertama, ingin efisien justru perilaku dan hasilnya tidak efisien. Kedua, proses dan gerak inginnya terkalkulasi, namun ternyata justru input, proses dan output tidak dapat terkalkulasi dengan baik. Ketiga, keinginan mempredksikan kebutuhan mahasiswa justru menimbulkan banyaknya keluhan di kalangan mahasiswa.

Mahasiswa belum merasakan kebutuhanya terpenuhi dan terlayani dengan baik. Kebutuhan mahasiswa selalu bergerak dan birokrasi tidak jarang belum berhasil memahami kebutuhan mahasiswa tersebut. Keempat, keinginan birokrasi untuk mengendalikan (to control) perilaku masih jauh.

Seakan-akan menerapkan prinsip demokrasi itu sulit, dikarenakan dianggap membahayakan struktur vertikal, penekanan terhadap gerakan mahasiswa pun juga dilakukan terus menerus karena hal ini dianggap membahayakan kinerja dan ruang gerak birokrasi. Tiga hal yang mestinya menjadi bahan refleksi agar birokrasi lebih manusiawi dan bernilai, yaitu tentang  power (mengurangi dominasi dengan memperkecil jarak kekuasaan), freedom (kebebasan akan lebih baik jika di maknai sebagai potensi bukan sekadar otonomi), culture (waspada terhadap kesesatan simbolisasi yang melahirkan identitas tertentu).

Tentang Penulis
Said Efendi Pradana, lahir di Tuban, 19 Juli 1997, adalah Alumnus MA AL-Anwar Sarang Mutakhorijin Ponpes Mahjar Al Amin Sarang. Selanjutnya mengenyam pendidikan di STIT Makhdum Ibrahim Tuban di jurusan Pendidikan Agama Islam (2016-2017). Sejak menjadi Mahsiswa aktif di PMII Komisriat Makhdum Ibrahim (2016) sampai karya ini di tulis.

Advertisement

Cari sesuatu di sini

Close