Semoga Lautan Bersahabat!
Oleh : Nofi Ristiyowati
"Abang jangan pergi." Lana menarik-narik ujung pakaian yang dikenakan abangnya. Tidak peduli meskipun pakaian yang dikenakan berbau amis sekali pun. Yang ia mau, abangnya tetap tinggal di rumah.
Yanto melepas tarikan Lana secara perlahan. Senyum tak lepas dari wajahnya yang kini sedikit tampak kusam. Sudah lama ia tak merawat wajahnya. Membiarkan wajah itu semakin hari semakin kusam karena setiap hari bekerja di bawah terik matahari.
Mau bagaimana lagi? Kepergian ayahnya mengharuskan ia menjadi tulang punggung keluarga. Meskipun di usianya yang tergolong muda, ia harus giat bekerja.
Di dalam kamus kehidupannya, tidak ada yang namanya pacaran. Yang ada hanyalah cara agar adik kesayangannya bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
"Kalau kamu lapar nanti mau makan apa, Dek?" dengan suara pelan dan lembut Yanto membalas rengekan gadis kecil itu.
"Pastinya makan nasi, Bang. Lana kan nggak mungkin makan rumput," ujarnya bersungut-sungut. Matanya mendelik tajam menatap abangnya.
Yanto mengulum senyum. Dalam keadaan sesedih apapun, adik kecilnya pasti bisa menghiburnya.
"Kok Abang nggak boleh pergi, Dek?"
"Adek nggak mau di rumah sama Ibu. Adek nggak mau setiap hari dimarahin terus, Bang."
Tangis Lana pecah kini. Tenggelam dalam dekapan Yanto yang baru saja mendekap gadis kecil itu. Dekapan yang terasa begitu hangat, sama seperti dekapan ayahnya yang kini tak lagi bisa Lana rasakan.
Yanto paham dengan apa yang adiknya rasakan. Hubungan antara gadis kecil itu dengan perempuan paruh baya yang telah melahirkannya, memang tidak begitu baik. Bahkan sangat jauh dari kata baik.
Lana tidak pernah berbicara dengan ibunya. Lana tidak pernah dengan berani menatap mata ibunya. Selalu ada rasa takut dalam hatinya. Bahkan dalam mimpi pun, gadis kecil itu berharap tidak pernah ada ibunya di sana.
"Bentar aja ... ya?" Pinta Yanto melepas dekapannya. Dihapusnya jejak air mata di pipi adiknya.
"Bohong!" Lana menghapus sendiri jejak air matanya. "Abang nggak pernah pulang kurang dari sepuluh hari!" jeritnya dengan mengangkat kesepuluh jarinya ke arah pandang Yanto.
"Kamu mau jadi perempuan yang paling pintar kan?" Yanto tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia yakin, perkataannya kali ini akan membuat gadis kecil itu tidak akan menahannya lagi.
Lana mengangguk cepat. Berkali-kali ia mengatakan kepada abangnya jika ia ingin menjadi perempuan yang paling pintar. Meskipun ia sadar hidupnya penuh dengan keterbatasan.
Selain perekonomian yang sangat kurang, ia hanyalah gadis kecil yang juga kurang kasih sayang. Tapi, impiannya ingin bersinar seperti bintang.
"Abang harus kerja. Biar bisa sekolahin kamu, biar kamu jadi perempuan yang paling pintar dan bisa dibanggakan." Yanto hanya bisa menahan air matanya. Jujur, ia juga tidak tega membiarkan adiknya di rumah bersama ibunya. Karena meskipun ada yang menemani, di sana adiknya seolah-olah sendiri. "Bukankah itu yang Lana inginkan?"
"Iya. Abang boleh pergi," balas Lana kembali beruraian air mata.
Yanto menghapus lagi jejak air mata Lana. "Doain dapet ikan banyak ya? Biar dapet uang banyak juga." dielusnya pipi gembul gadis kecil itu.
Lana mengangguk patuh.
"Abang berangkat ya," pamitnya sebelum benar-benar keluar dari rumah.
Lana mengikuti langkah abangnya. Sampai tubuh tegap itu mulai menjauh, gadis kecil itu berteriak. "Abang, semoga lautan bersahabat!"
–Tamat–
Tuban, 09 Januari 2020
Social Footer