(bukan) Pilihan yang Tepat
Oleh: Nofi Ristiyowati
"Kamu yakin dengan pilihanmu ini, Nak?"
Faza menarik udara sebanyak-banyaknya. Hingga di dalam paru-parunya terasa penuh, lelaki itu kemudian mengembuskannya perlahan. Dia angkat wajahnya menatap dua orang berharganya secara bergantian. Wajahnya menampilkan senyum penuh ketenangan. Menutupi perasaan gugup yang kian mendera dalam dirinya.
Dua orang dengan wajah penuh keriput itu saling diam. Menunggu jawaban yang akan putranya lontarkan. Sesekali helaan napas terdengar oleh lelaki dewasa di hadapannya.
Faza meremas tangan yang dia genggam sedari tadi. Meyakinkan diri jika di sebelahnya kini adalah perempuan yang paling tepat untuk dia jadikan sebagai penghuni pertama dan terakhir dalam hatinya. Perempuan satu-satunya yang akan menemaninya sampai Tuhan mengambil alih nyawanya. Perempuan yang akan ia ajak bersama-sama meraih Surga-Nya.
Tangan lembut dalam genggaman tangan Faza terasa dingin. Faza sangat tahu jika perempuan di sisinya dilanda kegugupan yang sama. Bahkan mungkin lebih darinya. Mengingat yang berada di hadapan mereka adalah kedua orangtua Faza.
Faza semakin mengeratkan genggamannya. Memastikan perempuan itu tidak akan kabur dari tempat yang entah mengapa terasa berbeda saat ini.
"Iya, Pak, Bu. Faza sepenuhnya yakin dengan keputusan ini." Akhirnya Faza mengangkat suara.
Meskipun hanya kalimat singkat yang ia ucapkan. Rasa lega kian mendera. Ditambah dengan rasa dingin yang sedikit berkurang dari dalam genggamannya.
Faza beralih menatap perempuan di sampingnya yang sedari tadi menunduk dalam. Wajahnya sedikit terhalang oleh rambutnya sendiri.
Dengan lembut, lelaki itu meraih dagu mungil itu. Membiarkan wajah cantik yang sedari datang hanya tertunduk, kini terlihat jelas menatapnya dengan tatapan sayu. Mata beningnya sedikit berair entah menandakan apa.
'Apa ia akan menangis?' batin Faza.
"Faza butuh perempuan yang kuat seperti dia." Lagi, Faza membuka mulutnya diiringi elusan lembut pada tangan lembut yang dia genggam. Lelaki itu menatap kembali kedua orangtuanya yang kini memperhatikan perempuan yang berada di samping putranya.
Perempuan berkulit putih bersih dengan rambut panjang terurai. Sungguh perempuan yang sangat cantik. Namun, jauh dalam lubuk hati mereka, lebih menginginkan seorang menantu yang salehah. Yang bersedia menutup auratnya bukan hanya karena kewajiban semata, melainkan menjaga kecantikan tubuhnya hanya untuk suaminya seorang.
Perempuan yang sudah melewati setengah abad itu kembali menghela napas lelah. Dinasehati seperti apapun, ia sudah tahu putranya tidak akan menyerah begitu saja. Lelaki yang telah dewasa itu akan tetap mempertahankan keputusannya.
Sebelum-sebelumnya Faza sudah beberapa kali meminta restu untuk perempuan yang saat ini putranya bawa di hadapan mereka. Perbedaannya dengan hari ini adalah sebelumnya Faza tak pernah serta merta membawa perempuan itu ke rumah.
"Ibu melarang pun, kamu tidak akan mendengarkan," ucap ibu Faza kentara jika perempuan tua itu sangat kecewa dengan keputusan putranya.
Faza dapat melihat guratan wajah cantik yang tertutup oleh keriput itu tidak menampilkan senyum sama sekali. Hanya raut wajah datar, tak seperti biasanya.
Perempuan yang berada di samping Faza kembali menunduk dalam. Rasa leganya kini berubah, ia kembali merasa takut. Kedua matanya yang memang sudah berkaca-kaca, kini berhasil meloloskan air mata hingga membasahi kedua pipi tirusnya.
Kembali, helaan napas terdengar. Disusul dengan ibu Faza yang berdiri kemudian meninggalkan ketiga manusia yang sama-sama diam tanpa kata. Faza turut menatap kepergian ibunya.
Berganti menatap perempuan di sampingnya yang terlihat tak tenang. Faza berusaha meyakinkan dirinya lagi. Jika pilihannya memang tidak salah. Dan dia pun yakin jika perempuan di sampingnya itu benar-benar jodoh yang ditakdirkan Tuhan untuknya.
"Bapak tidak mau ikut campur urusan kamu untuk masalah ini. Siapa pun perempuan itu, Bapak hanya berharap kamu bahagia."
Mendengar ucapan dari ayahnya, Faza tersenyum bahagia. Itu artinya, secara tidak langsung ia mendapatkan restu dari ayahnya. Dan Faza yakin jika setelah ini ia akan mendapatkan restu ibunya juga. Mengingat, keputusan di keluarganya yang paling utama dan yang paling wajib ditaati adalah keputusan lelaki tua itu.
"Bapak nyusul ibumu dulu ya," pamit lelaki itu seraya mengusap lembut puncak kepala perempuan di samping putranya. Membuat perempuan itu mendongak menatapnya penuh haru. Dia teringat akan perlakuan lembut dari ayahnya yang kini tidak akan didapatkannya lagi.
Seperginya kedua orangtuanya, Faza masih saja menggengam tangan perempuan di sampingnya.
"Kenapa saya gugup banget? Padahal di hadapan orangtua sendiri." Faza menjerit tertahan. Sebenarnya dia sangat ingin meluapkan emosinya. Tapi, dia sadar sedang berada di mana sekarang ini.
"Kamu nggak gugup?" tanyanya yang sebenarnya tidak perlu di jawab. Sebab, sangat jelas jika perempuan di sampingnya pasti sama gugupnya. Bahkan bisa jadi lebih gugup dari dirinya sendiri.
Perempuan itu hanya menggeleng, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dan masih tetap diam sampai mereka keluar dari rumah Faza.
"Mau saya antar pulang langsung atau jalan-jalan dulu?" Tawar Faza dengan senyum mengembang, seperti biasanya. Berbeda jauh dengan perempuan di sampingnya yang sangat jarang tersenyum.
Perempuan itu melirik Faza sekilas. "Saya nggak mau pulang." Kalimat pertama yang Faza dengar setelah keterdiaman yang cukup lama.
"Kamu mau jalan-jalan?" Tidak ada jawaban, hanya gelengan pelan sebagai tanda penolakan.
Faza menghela napasnya untuk yang kesekian kali. Tak terhitung sudah berapa kali pria itu menghela napas hari ini.
Entah hal manis apa yang mampu membuatnya jatuh hati kepada perempuan yang kerap kali mengabaikan kehadirannya. Sekalipun Faza sudah berusaha untuk membuktikan perasaannya. Tetap saja, dia dan perasaannya tidak pernah dianggap ada.
"Chacha." Faza mulai geram. Bahkan di hari ketika dia meminta restu kepada orangtuanya, perempuan di sampingnya masih tetap enggan memberi respon yang baik untuknya. "Kamu jangan bikin saya bingung," lanjutnya dengan suara agak meninggi. Beruntung jarak antara rumahnya dan rumah yang lain cukup jauh. Tidak akan ada yang mendengar ucapannya.
"Saya nggak mau hubungan ini berlanjut. Saya nggak mau nikah!" Air mata luruh membasahi kedua pipi Chacha.
Penolakan secara tidak langsung dari ibu Faza membuat perempuan itu kembali dilanda kekalutan. Dan lagi, Chacha tidak pernah menginginkan adanya hubungan antara dia dengan Faza. Hal yang semakin meyakinkan dia jika mereka memang tidak seharusnya bersama.
Sejak awal, dia tidak pernah menghiraukan kehadiran Faza. Bukan karena dia benar-benar tidak memiliki perasaan kepada pria itu. Tetapi, dia cukup tahu jika kedekatan keduanya sama sekali tak mendapat dukungan. Entah dari keluarga Faza maupun keluarga Chacha sendiri. Pun, Chacha merasa sangat tidak pantas berada di sisi lelaki itu.
"Saya nggak mau." Chacha sesenggukan. Dia tangkup wajahnya menyembunyikan air mata yag mengalir begitu saja tanpa dia minta.
Faza melunak, air mata Chacha selalu berhasil membuat emosinya menghilang dalam sekejap. Dia rengkuh tubuh mungil itu dalam dekapannya. Memberikan kehangatan, berharap hal itu bisa menjadikan perempuan itu sedikit lebih tenang.
Faza mengutuk dirinya yang sedari dulu tidak pernah mampu membuat orang yang dia sayang tersenyum bahagia. Bertahun-tahun dia memperjuangkan perempuan itu agar tetap berada di sisinya. Mengapa yang selalu dia hadirkan hanyalah air mata dan kecewa? Tak terhitung sudah berapa kali dia menjadi alasan kesedihan Chacha.
"Saya cinta sama kamu, Cha. Jangan siksa saya terus dengan air mata kamu," ucap Faza lirih. Tanpa sadar, setetes air matanya ikut mengalir seiring suara sesenggukan Chacha yang masih terdengar.
Faza tersiksa ketika Chacha selalu mengabaikannya. Tapi, Faza lebih tersiksa ketika Chacha menangis karenanya.
"Tapi saya nggak pernah cinta." Chacha mendongak. Hidungnya memerah mengikuti kedua matanya yang tak kalah memerah. Air matanya terus saja mengalir dengan derasnya. Perempuan itu pun enggan menghentikan tangisnya. Enggan pula untuk sekedar menghapusnya jejak-jejak air matanya.
Faza tersenyum masam. Dia lepas rengkuhannya pada tubuh Chacha seraya menghapus jejak-jejak air mata perempuan itu.
"Ayo. Saya antar kamu pulang," ucap Faza seraya menarik pelan pergelangan Chacha agar mengikuti langkahnya.
Suasana malam kian mencekam. Kedua anak manusia itu menyusuri jalanan dalam diam. Tidak ada percakapan apapun di antara mereka. Faza sibuk memikirkan tindakan apa lagi yang kiranya bisa membuatnya tetap bersama Chacha tanpa membuat perempuan itu terluka?
Apapun yang dia lakukan selalu salah di mata Chacha.
Chacha turun dari motor besar Faza. Perempuan itu masuk ke dalam kamar indekosnya tanpa mempedulikan Faza yang masih berdiri memperhatikannya.
Lagi-lagi Faza hanya mampu tersenyum masam. Pertanyaan yang telah dia biarkan hanya berlalu di kepala, kini terucap dengan lancar oleh mulutnya.
"Chacha memang tidak pernah mencintaiku."
Faza tersenyum menatap pintu indekos Chacha yang sudah tertutup rapat. Dia pastikan perempuan itu kini menangis dalam diam, tanpa dia tahu. Lelaki dewasa itu kini memilih pergi, membiarkan Chacha menenangkan diri.
Fee|Tuban, 02-02-2020
Tentang penulis:
Nofi Ristiyowati, salah seorang anggota Lembaga Pers Mahasiswa Makhdum Ibrahim Tuban yang pada saat ini tengah menjalani kuliah semester empat prodi PAI. Fee adalah nama penanya, yang tepat berdomisili di Kecamatan Palang.
Social Footer