Breaking News

Rintik Hujan Bulan Februari

Sumber gambar: pexels.com
Oleh: Enjhe

Jalanan kota hari ini basah kuyup, langit pun tak kunjung membiru. Air rintik-rintik turun dari angkasa, tak lupa genangan-genangannya ikut meramaikan setiap jalan raya. Bagi kebanyakan orang hal ini akan terkesan menjengkelkan dan merepotkan karenanya aktifitas mereka terganggu, alhasil mungkin banyak dari mereka yang memilih untuk pulang dan memanjakan tubuh dengan kenyamanan kasur kesayangan. Gerimis tak henti mengguyur sedari pagi, membuatku terpesona oleh rintik-rintik air yang membasahi dedaunan.

Aku adalah pendamba hujan, entah mengapa aku sangat menyukai rintik air yang turun dari langit. Mereka menunjukkan keindahan tersendiri bagi para seniman ataupun para pencari inspirasi. Memandang rintik hujan yang turun di depan rumah seperti sudah menjadi rutinitas senggangku. Anganku berkeliaran mencari kata demi kata yang akan aku ucap nanti saat berbicara dengan pacarku.

Bunyi klakson sepeda motor mengagetkan lamunan, mungkin itu Ferdy pacarku. Langsung saja aku beranjak berdiri dan benar saja dia sudah menunggu di luar gerbang rumah dengan mengenakan jaket merah yang asing dimataku “Mungkin itu baru” ucapku dalam hati enggan mengutarakan. Ferdy melontarkan senyum manisnya kepadaku. Penampilannya hari ini nampak sekali bahwa dia sedang berusaha terlihat terbaik di depanku, disetiap perjalanan menuju warung bakso bu Asih kami ditemani rintik hujan Februari hati semakin merasa iba dengan angan-angan tadi. Apakah yang akan terjadi setelah angan ini terlontar dari pikiran?

        “San, kita sudah sampai,” ucap Ferdy membuyarkan lamunanku lagi.

Ku lepas pelukanku darinya lalu beranjak turun menuju kursi pojok favorit kita berdua, bu Asih sang penjual bakso sudah hafal dengan kami dan langsung saja menyodorkan bakso yang biasa kami pesan. Tempat ini adalah saksi bisu kisah cinta kami yang sudah 2 tahun lamanya semenjak kami berpacaran, tak banyak yang berubah disini hanya saja ada tambahan beberapa kursi dan meja dibagian depan.

“Kok baksonya cuma diaduk-diaduk, ya dimakanlah San!”

  “Iya Fer.”

“Aku perhatikan dari tadi kamu gak fokus, kamu sakit?” tanya Ferdy.

Aku hanya terdiam tanpa menjawab lalu Ferdy melepas jaketnya dan memakaikannya padaku. Mata kami saling menatap, aku melihat senyum penuh kekhawatiran, hal itu semakin membuat hatiku tercabik dan air mata pun tak dapat dibendung lagi.

“Aku pikir kita udahan saja,” ucapku spontan.

Ferdy terdiam lalu meletakkan sendok dan garpunya bersamaan. Lalu beralih memandangku.

“Aku selingkuh.”

“Kenapa? Kamu balas dendam dengan perlakuanku yang dulu?” tanya Ferdy mulai serius.

Ingin rasanya aku berteriak “Iya, kamu benar awalnya aku memang ingin balas dendam” namun, aku urungkan niat itu. Aku tidak ingin menimbulkan keributan diantara kami.

“Lalu, kamu lebih memilih dia?” tanyanya lagi tanpa memberiku waktu menjawab.

Ferdy tak kuasa menungguku menjawab dan dia langsung pergi entah kemana. Menangiskah dia? Atau mungkinkah dia mendamaikan diri agar tidak tenggelam dalam emosi? Warung bakso bu Asih terlihat lengang tanpa pengunjung, tak seperti biasanya yang selalu ramai. Ferdy kembali duduk disampingku, memegang tanganku dan menatapku.

       “Aku sudah putus sama dia dan aku juga ingin kita putus. Aku gak mau menyakiti hatimu lebih dalam atau hati siapapun,” jelasku padanya.

       “Sania, aku tahu pasti lukamu sangatlah sakit dan pastinya kamu ingin membalasnya. Namun, janganlah seperti ini jangan membuaku jauh darimu.”

       “Hubungan ini gak bisa dilanjutkan lagi Fer. Tolong jangan memaksaku dan membuatku semakin merasa bersalah.”

Ferdy hanya terdiam dan melepas genggamannya.

       “Ayo aku antar pulang,” ajaknya tanpa menanyaiku ingin pulang atau tidak.

Sepanjang perjalanan pulang kami lengang hening tanpa suara, yang awalnya dia suka bercerita sekarang hanya terdiam membatu. Perjalanan kami pun masih ditemani rintik hujan bulan Februari tangisku pun tak dapat terbendung. Sesampainya di rumah dia langsung pergi tanpa membawa jaket yang dia kenakan padaku dan tanpa sepatah kata perpisahan apapun.

Aku tahu aku pantas untuk dihujat dengan apa yang aku lakukan namun, aku tak dapat membohongi diri sendiri, aku tidak bisa menyakitinya lebih jauh, aku terlalu mencitainya sehingga tak kuasa melihatnya menderita disampingku.

Aku terlalu rapuh untuk menyakiti hati siapa pun, aku merasakan sakit yang mereka terima dariku. Atas keserakahan ini aku pantas untuk kehilangan keduanya. Hanya doa yang bisa ku sematkan dalam setiap jalannya, semoga Ferdy menemukan seorang yang tak hanya memberi luka dihatinya namun juga sebuah kebahagian.

Cari sesuatu di sini

Close