Breaking News

Cinta di Seberang Jalan

 

Sumber gambar: www.pinterest.com

Oleh: Maulida Sufi Hindun

Aku mengerjapkan mata sekali lagi sembari menghirup udara dingin yang menusuk tulang. Netraku berbinar menatap daun-daun yang berubah menguning dan memerah. Sebagian masih bisa menggantung di ranting dan yang lain jatuh memenuhi seluruh pijakan. Aku menikmatinya, musim gugur yang tak pernah kulihat di negeri asalku.

Enam bulan adalah waktu yang akan kuhabiskan di negeri Ginseng, sebagai bagian dari program pertukaran mahasiswa yang aku ikuti. Aku tetap mengeluti hobi menulis meskipun dalam pendidikan mengambil ilmu kejiwaan. Bagiku menulis adalah diriku. Padatnya jadwal kuliah membuatku harus membagi waktu antara menyelesaikan tugas dan menulis. Biasanya aku menulis setelah menyelesaikan tugas kuliah. Menarget satu bab harus selesai dalam sehari, karena masih ada satu novel yang harus kurampungkan.

Akibat jadwal yang padat, aku seringkali tak sadarkan diri, terjatuh di jalan sehingga saat tersadar diriku sudah ada di dalam sebuah ruangan putih lengkap dengan bau obat-obatan yang menyengat serta tatapan panik orang-orang yang telah menolongku. 

Pipiku memerah menahan malu, merasa tak enak hati telah merepotkan orang lain. Aku menyunggingkan bibir sembari mengucapkan terima kasih. Mereka hanya tersenyum, katanya sesama manusia harus saling membantu. 

"Adik asal mana?" 

"Saya asal Indonesia."

"Oh ... apakah adik ke sini karena sedang berlibur?" tanya perempuan paruh baya yang menatap heran karena wajahku berbeda dengan mereka.

"Tidak, saya sedang mengikuti pertukaran mahasiswa," jawabku dengan seulas senyum.

Mereka hanya mengangguk mengerti dan berpamitan karena melihat keadaanku yang sudah baik-baik saja. Aku hanya menatap punggung mereka yang hilang dari pintu ruang klinik. Setelahnya aku hanya menghela napas kasar, menyesal pada diri sendiri karena tidak menjaga pola tidur dan makan-yang sebelumnya selalu tidur di atas jam tiga pagi.

Setelah menebus obat di apotek, aku pun mencari makanan halal di beberapa restoran yang menyediakan makanan khusus-yang mungkin terjaga dari minyak babi dan lain-lain yang tidak baik bagi kesehatan. Selain restoran khusus, aku juga menyukai salah satu toko buku di ibukota negara tersebut. Sering aku membeli buku di sana, tidak hanya kualitas bukunya yang bagus, tetapi harganya juga terjangkau. 

Seperti biasa aku selalu menghabiskan akhir pekan di toko buku yang kusukai. Toko buku yang akan menjadi salah satu tujuan mengisi akhir pekan selama aku tinggal di Seoul. Setelah mendapatkan semua buku yang kucari, aku melangkah menuju kasir. Namun, tiba-tiba pandanganku tertuju pada seorang lelaki muda yang memakai kaos hitam lengkap dengan celana longgar berbahan jeans warna coklat abu-abu. Rambutnya tersisir ke belakang menampakkan jidat yang bidang, alis yang melengkung ke bawah, tetapi tak selonjong goresan kuas di atas kanvas, ditambah dengan bibir yang tipis, serta mata agak sipit yang memancarkan ketenangan. 

Melihat postur tubuhnya yang jauh lebih tinggi dariku—kira-kira tinggiku hanya sebatas dadanya, membuatku sedikit menunduk saat berjalan melewati lelaki yang masih saja memandangiku. Dengan perasaan yang sedikit gelisah, aku memutuskan melangkah keluar dari pintu toko buku sebelum ia mulai membicarakanku dengan penjaga toko. 

Aku anggap hal itu bukan masalah besar. Toh, banyak sekali orang Korea dengan berbagai kepribadian yang aku temui di mana pun, juga tidak terlihat mencurigakan. Termasuk lelaki itu. Bertemu dengan lelaki itu mungkin hanya satu kali untuk seumur hidup 'kan? Aku memilih melanjutkan keseharianku kembali sebagai mahasiswa, setiap akhir pekan mengunjungi toko buku. Tempat kemarin aku bertemu dengan lelaki Korea itu. 

"Maaf."

Jantungku rasanya berhenti detik itu juga mendengar suara yang sepertinya memanggilku. Aku membalikkan badan, terkejut dengan seseorang yang kini tepat di depanku, lelaki berbibir tipis itu. 

"Ya?" jawabku masih menampakkan wajah kebingungan. 

Aku berpikir ia tak akan mengenali wajahku, meskipun kami kerapkali bertemu di tempat ini. Setiap saat kakiku menuntun ke sini. Aku menggeleng pelan, tak mungkin bukan ia mengenaliku semudah itu?

"Anda memanggil saya?"

"Saya menemukan sebuah dompet. Apa mungkin milikmu?"

Aku berpikir sejenak, memeriksa isi tasku dan ternyata ... salah satu barangku tidak ada di sana dan justru kini ada di tangan lelaki itu. Spontan aku memasang wajah kikuk. Kenapa aku seceroboh ini?

"I ... iya, itu milik saya," kataku kemudian menerima barang itu dari tangannya. 

Masalah selesai, tapi lelaki itu lantas mengajakku berbicara. Mungkin lumayan panjang, dari menanyakan asal mana sampai dengan kecurigaanku atas pertemuan dari tak dikenal hingga postur wajah yang agak hafal. 

"Kamu sering ke toko buku?" tanyanya sembari menatap wajahku.

"Ya ... sepertinya banyak yang harus saya ketahui. Dan setidaknya kita tahu kalau manusia itu tak ada yang sempurna," sambutku, setengah berdalil meski bukan berarti aku sedang mengguruinya. 

"Topik yang bagus. Aku juga suka baca buku. Dan aku adalah tipe lelaki yang ceroboh ... kurasa."

"Anda tidak terlihat seperti itu."

"Benarkah? Ah, kukira aku lebih bodoh dari pada temanku yang lain." 

Sedikit aku mulai mengenalnya, ternyata dia adalah seorang artis sejak masih duduk di bangku SMA, artis dengan banyak heaters. Katanya dulu banyak yang tidak suka dengannya, entah karena dia tidak tampan, bodoh, tidak bisa apa-apa, tidak berbakat, dan lain sebagainya. Namun, sekarang justru ia memiliki banyak penggemar, banyak yang menyukainya. Kendatipun demikian, ia masih menganggap cinta dari para fansnya adalah sesuatu yang kosong. 
Tidak akan ada ketulusan di dalamnya, karena ia tak tahu harus mengungkapkan isi hati dari mana, maka ia pun memutuskan untuk menuliskannya bersama segudang lirik lagu. 

"Anda sudah begitu sering merasakan cinta palsu, ya?" Aku merasa kasihan padanya, sudah setengah jam kami berdiam diri di atas kursi taman kota yang tak jauh dari toko buku yang aku masuki. 

"Itu tidak apa-apa. Hanya sebagian dari sebuah drama. Kamu pasti sudah tahu kalau Republik Korea itu ahli dalam membuat adegan dramatis?"

"Ah, ya. Hahaha lucu sekali. Kadang aku jengkel waktu tahu televisiku banyak program isinya cuma drama mulu. Jadi bosen." Responku sedikit bergurau. 

Ini pengalaman pertamaku bertemu dengan seorang artis seperti dia, mendengar keluh kesah tentang para penggemarnya yang tega menyakitinya. 

"Udah deh, Kak. Kakak nggak usah sedih. Masih banyak di luar sana yang menyemangatimu, masalahnya kamu tidak tahu". Aku mengulas senyum tipis, mencoba menyemangatinya.

"Kalau saja aku tahu sendiri hal itu memang ada, aku sangat senang sekali."

Setengah jam kemudian aku pamit pulang, setelah beralasan bahwa ada tugas yang harus diselesaikan hari ini. Sebelum beranjak pergi, samar-samar aku mendengarnya berbicara.

"Boleh aku minta nomor ponselmu?"

"Heh?" Aku sedikit heran saat ia meminta nomor ponselku. Merasa ia adalah orang yang mencurigakan, tapi aku tak mungkin menganggapnya demikian, toh dia juga sudah aku kenali wajahnya setiap berpapasan dengannya di dalam toko buku. 

Aku pun memberikan nomor ponselku, begitupun dengannya. Ah, kalau saja aku adalah penggemar beratnya mungkin aku sudah berteriak atau bahkan melompat-lompat sebelum ia meminta nomor ponselku. Ada-ada saja. Aku menggeleng pelan, mengusir pikiran bodohku.

Setelah kepergiannya baru kusadari kalau logat bicaraku tak karuan tadi, terlihat dari mimik wajahnya yang bingung harus merespon bagaimana. Entahlah, aku memang seringkali menggabungkan logat Indonesia dengan bahasa Korea—sehingga bahkan diriku sendiri ataupun orang lain kurang mengerti dengan apa yang tengah aku bicarakan. 

Selang beberapa hari setelah pertemuan itu, aku kembali ke toko buku yang sama. Masih dengan tujuan untuk mencari buku-buku referensi dan mata kuliah tanpa bermaksud untuk menemui dia—lelaki berumur dua puluh lima tahun itu. Mungkin sekarang dia berada di tempat kerja, atau melanjutkan aktifitasnya sebagai artis tanah air yang sudah melejit hingga mendunia. Entahlah, mengapa aku jadi memikirkannya? Tidak sopan bukan jika aku menghubunginya?

Baiklah, kurasa ada yang tidak beres dengan otakku. Kenapa aku sangat ingin menghubunginya? Aku menggeleng sekali lagi, mengurungkan niat untuk sekadar menghubunginnya. 

Dua menit ... tiga menit ... tiba-tiba ponselku berdering. Aku sedikit mengernyit membaca isi pesan itu. 

"Aku menunggumu di pertigaan jalan Gang Nam no. 17. Jangan lama-lama." 

Lagi-lagi kerutan di dahiku semakin jelas. Apa maksud lelaki ini? Mendadak menyuruhku untuk menemuinya. Aku mengggigit bibir bawahku, merasa khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak baik jika mau menuruti ajakannya.

Sekali lagi aku menatap pesan yang beberapa saat lalu kuterima dari nomor berinisial +82 itu, kemudian memutuskan untuk membalasnya. 
"Apa yang akan kau lakukan? Tiba-tiba seperti ini? Kau tidak kerja!"

Selang beberapa detik, ponselku berdering lagi menandakan balasan darinya.
"Iya, aku sekarang lagi kerja."

Belum sempat aku menjawab, satu pesan masuk sudah kudapatkan lagi.
"Kerja menunggu kamu."

Aku tak peduli apa yang telah ia ucapkan lewat chatroom, memilih mengabaikan dan membiarkan pesannya hanya centang dua berwarna biru saja. Entahlah, kenapa aku jadi bingung harus menemuinya atau membiarkan saja?

Setelah memutuskan melanjutkan langkahku, sekaligus mencoba untuk tidak mempedulikan dia. Lagi-lagi aku menerima satu pesan masuk.

"Hei, kau mau kemana? Jangan pergi!"

Aku mendengus geli, dari mana dia tahu aku akan pergi, sih? Seperti cenayang saja! 

Aku terpaksa mengetikkan sesuatu untuk menghilangkan kegilaannya.
"Kalau aku tidak menemuimu hari ini?"

"Aku tidak akan pulang!"

Baiklah dia memang sudah gila.

"Ayolah, temuilah aku hari ini. Akan ada salju yang turun malam ini. Jika kau tidak kunjung datang, akan aku katakan kepada semua warga di seluruh dunia bahwa, 'kau adalah pacarnya RM BTS!' malam ini!"

Rahangku mengeras, warna merah pekat sudah menghiasi wajah bulatku. Bisa-bisa lelaki ini mengancamku. Dia pikir siapa dia? Beraninya mengancamku! Ternyata yang aku pikirkan kalau dia orang baik itu salah, dia tak sebaik layaknya orang-orang yang pernah aku temui.

Aku menghembuskan napas pelan, baiklah sepertinya aku harus menemui lelaki tidak waras ini sebelum semua semakin tidak terkendali.

Di sebuah pertigaan dan perempatan tempat penyebrangan jalan orang-orang Korea, tempat di mana papan layar memampangkan pose orang itu bersama teman-teman kerjanya. Dengan berat hati aku mulai melangkahkan kaki menemui dia, telah aku bayangkan diriku akan memakinya dengan seribu cacian penuh sayatan, karena dia telah menggangguku. 

"Tidak adakah pekerjaan lagi selain menggangguku?" hardikku, tepat setelah senja mengerubungi sebagian langit di atas kota.

Ia hanya tersenyum ke arahku saat tahu ada diriku yang mulai menghampirinya lewat tempat penyebrangan orang-orang pejalan kaki. 

Aku menatapnya dengan kening mengerut. Ia masih menyunggingkan senyum menyebalkannya. 

"Mau kamu apa?" Aku sudah enggan berbasa-basi lagi.

"Tidak salah aku menunggumu di sini?" Ia masih saja menampilkan senyum yang membuat debaran jantungku semakin menggila.

"Maksudnya? Aku kurang mengerti!"

"Jadilah pacarku." Ia sedikit berjongkok sembari menggenggam tanganku dan masih saja menampilkan senyum manis andalannya.

Aku menampik genggaman tangannya, masih saja memasang wajah garangku. "Kau terlalu tergesa-gesa!" 

"Tidak. Aku tidak tergesa-gesa. Aku memang sedang jatuh cinta ... dengan orang yang kini ada di hadapanku," ujarnya menatap tepat ke dalam manik mataku.

"Jangan gila, Kak!" 

"Kalau kau tidak menerima pernyataan singkatku ini ... satu menit ke depannya para warga dunia akan tahu tentang dirimu. Kau adalah kekasihku."

"Lagi? Jangan konyol!"

"Jangan memaksa orang yang sedang jatuh cinta!"

"Kak Nam Joon ...." Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi. Ia terus saja memaksaku untuk menerimanya sebagai kekasih. Sejujurnya aku tidak mencintainya. Sungguh. Dan karena harus ada kesepakatan bersama, akhirnya aku menerimanya. 

Awalnya aku bersedia menjadi kekasihnya hanya dalam waktu empat minggu. Namun, tanpa kusadari hubungan kami bertahan sampai tahun kelima. Dan uniknya berlanjut sampai ke pernikahan. Aku tak tahu sejak kapan rasa cinta itu tumbuh subur di hatiku. Aku pun tidak pernah menyangka akan menjadi ibu dari anaknya—seorang putra yang wajahnya duplikat dari Nam Joon.

Tuban, 3 Juli 2021

Tentang Penulis:
Maulida Sufi Hindun, lahir di Tuban pada tahun 2002. Menyukai dunia tulis menulis sejak SD, tetapi orang tuanya harus berbohong tentang satu hal bahwa tulisannya akan diterbitkan.

Advertisement

Cari sesuatu di sini

Close