Breaking News

Dari NU untuk Negeri: Perlawanan NU terhadap PKI

 

Sumber:  https://images.app.goo.gl/EPQnFbdX1SMVPA6k7

Dari banyaknya peristiwa kelam yang dialami bangsa Indonesia salah satunya adalah peristiwa G30S/PKI. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 September 1965 dengan tindakan kudeta terhadap pemerintahan yang sah pada masa kepemimpinan presiden Soekarno. Tragedi ini menjadi sangat penting untuk diingat bagi generasi selanjutnya agar tidak terjadi lagi dikemudian hari, sebelum meletusnya G30S/PKI sebenarnya sudah pernah terjadi pada 18 September 1948 dimana pelaku adalah gabungan dari partai Komunis seperti PKI, Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia digabung menjadi satu barisan kedalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang diketuai Muso dan Amir Syarifuddin, sekretarisnya adalah DN Aidit , yang semuanya itu adalah tokoh PKI, sementara Partai Murba pimpinan Tan Malaka tidak masuk dalam aliansi Marxis tersebut.  Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI mendapat perlawanan dari berbagai kalangan terutama umat Islam dan khususnya NU. Konflik antara NU dan PKI sudah berlangsung mulai tahun 1947 dan terus berlanjut hingga 1948 lalu berlanjut lagi pada tahun 1950-an dan berpuncak pada pertengahan tahun 1960-an, dimana kedua kelompok itu bertikai dan bertempur untuk memperebutkan tanah, yang diklaim PKI dan membalas PKI yang menghina agama dan Tuhan. NU pada awalnya tidak diperhitungkan menjadi rival PKI setelah dibubarkannya Masyumi oleh presiden Soekarno namun, anggapan itu keliru dan membalikkan keadaan bahwa NU lah lawan terberat PKI. Begitu besarnya peran NU dalam melawan PKI yang tidak hanya dalam perpolitikan tetapi juga dalam bermasyarakat bahkan ada satu pendapat bahwa NU salah satu pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya pembantaian PKI. Para peneliti yang berpendapat demikian seolah-olah NU tidak menjadi korban dalam tindakan represif PKI. Konflik NU dengan PKI seringkali mengakibatkan pertikaian, tindakan-tindakan PKI seringkali membuat resah masyarakat. Demi mendapatkan masa, PKI seringkali membuat teror mulai melakukan perampokan, perusakan tempat ibadah seperti langgar/musholla, masjid, bahkan pembunuhan pada warga yang tidak mau bergabung khususnya kaum santri dan kiyai. Keterangan tentang ganasnya PKI bisa didapat melalui saksi-saksi yang masih hidup atau para peneliti dan diwujudkan menjadi buku. Seperti contoh konflik NU dengan PKI adalah H. Abu Sudjak seorang Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Kediri yang mempunyai tanaman tebu seluas tiga hektar, ditebang dan dijual oleh kelompok BTI (Barisan Tani Indonesia) ke pabrik gula Ngadirejo tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya. PKI menganggap bahwa tanah milik negara adalah milik masyarakat dan siapapun boleh menggunakannya tanpa harus meminta persetujuan, jelas ini memicu konflik keduanya meski akhirnya pihak NU yaitu H. Abu Sudjak kembali memiliki tanahnya. Pada pemilu 1955 dimana NU mempunyai lima tema dalam kampanye pemilu dan salah satunya adalah "Menentang paham komunisme dan segala bentuk atheisme yang lain-lain." Sikap ini diambil oleh NU atas tindakan PKI yang subversif dan penuh dengan pertumpahan darah. NU pada masa itu memang menjadi kekuatan besar bagi umat Islam saat menghadapi PKI. Hamka salah satu tokoh besar Masyumi saat itu diserang oleh orang-orang Lekra PKI atas tuduhan plagia, tetapi tak ada yang berani membela tokoh tersebut karena takut dianggap sebagai anti pemerintah. Lagi-lagi NU tampil dipermukaan dengan membela lewat Lesbumi dan Koran NU Duta Masyarakat yang dipimpin H Mahbub Djunaidi dan H Said Budairi gigih melakukan pembelaan. Terhadap ulama dan sastrawan dari Masyumi dan pimpinan Muhammadiyah tersebut.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa umat Islam adalah benteng bangsa Indonesia. Pendapat ini tidak berlebihan jika kita melihat sejarah mulai perlawanan Demak Bintoro, Cirebon, Banten, Mataram dibawah kepemimpinan Sultan Agung dan Aceh yang merupakan kerajaan Islam paling lama melawan bangsa penjajah serta peristiwa 10 November dimana perlawanan dari umat Islam khususnya kaum santri setelah mendengar seruan Resolusi jihad yang dikeluarkan PBNU pada 22 Oktober 1945. Inilah yang membuat PKI mempunyai strategi jika ingin menguasai negara Indonesia maka yang pertama harus diganyang adalah umat Islam terlebih dahulu. Puncak dari sikap NU terhadap PKI adalah meletusnya Gerakan 30 September dimana NU mengambil sikap tegas dengan memutuskan empat point dan salah satu diantaranya adalah "Menyerukan segenap umat Islam dan segenap kekuatan revolusioner lainnya untuk memberikan bantuan sepenuhnya kepada ABRI di dalam usahanya untuk melaksanakan perintah Presiden Panglima Tertinggi ABRI/ Pimpinan Besar Revolusi menyelesaikan / menertibkan kembali segala akibat yang ditimbulkan oleh Gerakan 30 September."

Langkah yang diambil NU ini bukan berdasarkan balas dendam tetapi semata-mata hanya ingin menjaga keamanan dan persatuan bangsa Indonesia karena NU berprinsip bahwa; Setiap bughat (makar) harus ditindak. PKI melakukan bughat.Maka PKI harus ditindak.

Pada 30 September 1965 adalah satu peristiwa upaya kudeta atas pemerintahan yang sah dengan membunuh enam jenderal. Pada hari itu juga adanya upaya ingin mengganti unsur Pancasila menjadi ideologi Komunis. Maka pemerintah mengeluarkan kebijakan setiap tanggal 30 September diperingati sebagai Gerakan 30 September dan tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari kesaktian Pancasila, bahwa Pancasila adalah dasar Indonesia, Pancasila, adalah sakti, tak tergantikan.

Dari peristiwa G30S/PKI seharusnya bisa menjadikan kita sadar bahwa bangsa Indonesia dibangun dari berbagai perbedaan mulai agama, ideologi, dan suku. Perbedaan itu bersatu demi tujuan yang sama membangun suatu bangsa besar yaitu Indonesia. 

Peristiwa sejarah ini harus benar-benar dijadikan pelajaran melalui pendidikan yang serius demi terciptanya generasi yang kritis manakala ada pihak-pihak yang ingin memutarbalikkan fakta sejarah.

Generasi yang tidak kritis dan tidak bisa belajar dari sejarah bangsanya maka akan mudah diadu domba oleh bangsa lain karena salah satu cara menghancurkan satu bangsa maka kaburkan sejarahnya. Bung Karno saat berpidato pada hari ulang tahun kedua puluh satu Republik Indonesia 17 Agustus 1966 di Jakarta mengatakan "Never Leave History 'Djangan sekali-sekali meninggalkan Sedjarah', Djas Merah".

والله اعلم 


Sumber Referensi: 

Mun'im Abdul, BENTURAN NU-PKI 1948-1965. Jakarta 2013.

Buku Pintar Politik; Pemerintah, dan Ketatanegaraan. Jogja Great Publisher. 2009


Penulis : Faiful Mukshani

Editor   : Akhsanu Amala

Advertisement

Cari sesuatu di sini

Close