Breaking News

BAPAK

 


Sudah terakhir kali semenjak aku meninggalkan tempat yang seharusnya aku sebut dengan “rumah” diriku pun mendapatkan panggilan dari Kakak Kedua. Sepuluh tahun rasanya seperti hanya kemarin, membawaku ke dalam gerbang sebuah situasi di mana aku hampir saja melupakan ponselku yang tergeletak di atas meja di antara kursi sofa ruang tamu milik perusahaan.

“Eumm…Go Hwa~nuna?” Aku menoleh ke arah sumber suara, mengangkat wajah ke arahnya. Lelaki itu umurnya dua tahun lebih muda dibandingkan diriku, namun ia telah mengajarkanku sebagai seorang yang profesional di atas panggung. Panggil saja Kim Minjae. “Ada apa?”

“Apakah ini ponsel anda?” Pertanyaannya menjurus sembari menunjukkan kepadaku layar ponsel yang menorehkan nama kontak “michin ge” yang artinya adalah anjing gila, nama kontak lama milik Kakak Pertama.

Segera aku menyambar ponsel lama yang dibelikan Kakak Pertama sepuluh tahun lalu itu dari tangannya, lelaki itu memasang ekspresi bingung dan agak ngeri. Bisa-bisanya aku mendapatkan panggilan dari kontak dengan nama yang tidak senonoh itu, bagi mereka panggilan itu terdengar kasar.

Amat sangat kasar, sampai mereka tidak bisa menghentikan siapapun untuk mengendalikan diri dan akan menyebutnya secara lantang karena penyebab utama lahirnya kata-kata itu tersebar di seluruh dunia hanya melalui drama.

Tentu Minjae akan malu padaku begitupun diriku kepadanya, lima tahun kami bekerja sama dalam satu mitra yang sama, nama kontak panggilan itu kembali menutup kubu di antara kami. Mimik wajah Minjae menggambarkan satu hal, siapa sebenarnya Hyun Go Hwa itu.

Ponsel itu masih berdering, meminta untuk segera diterima oleh sang pemiliknya, namun aku tak segera melakukannya, kupandang layar ponselku seakan hendak membaca situasi. Baru beberapa saat yang lalu aku meninggalkan ponsel ini di atas sana alih-alih melupakannya. Kini ia membawakanku sebuah kiriman panggilan. Masa lalu mengetuk pintu ingatanku untuk segera menerimanya.

Panggilan dari nomor kontak yang tidak akan pernah menyempatkan menghubungiku selagi aku bisa bertemu dirinya di tempat yang sama. Nomor itu masih sama, masih dengan photo profile yang sama, dengan nama yang tak akan berubah termakan masa.

Suara dering nada panggilan itu membungkus keheningan sesaat.

Nuna, kalau memang mendesak, sebaiknya angkat saja teleponnya.” Ujar Minjae kepadaku, aku mengatupkan ponselku ke dada, menutupi layar ponsel sepenuhnya ada bersamaku, sontak aku mengangkat wajah, tersenyum padanya seakan tidak terjadi apa-apa.

“Aah…tidak apa. Aku akan mengangkat panggilannya nanti. Terima kasih, ya, sudah mengingatkanku.”

“Apa…tidak apa-apa?” Minjae bertanya, “sepertinya ada yang mendesak, Nuna.” Wajahnya spontan menyondongkan diri ke arahku, seolah berusaha melihat apakah sekarang ponsel itu sedang berada di dalam panggilan, sementara suara dering masih terdengar.

“Apa yang sedang terjadi, Nuna?” Aku tak menjawab rasa penasaran Minjae yang mencoba mengintai diriku yang tidak bergegas mengangkat panggilan dari nomor Kakak  Pertama, aku pun mohon undur diri pergi meninggalkan ruang tamu perusahaan yang seluas dua kali kamarku itu.

Juga meninggalkan Minjae yang terus dihujani dengan rasa penasaran yang tinggi.

Aku menapaki tangga spiral menuju ke atas atap gedung perusahaan, tangga darurat yang terhubung dengan tangga spiral lainnya yang mnghubungkan semua tingkatan yang ada, di sinilah tempat aku menghempaskan segala ungkapan rahasiaku kepada angin  dan cakrawala dunia. Orang goryo macam Minjae dan yang lainnya tidak perlu mengetahuinya. Rahasia keluarga adalah bentuk kemaluan yang sebenarnya.

Sendirian bersama ponselku yang terus berdering. Kutekan tombol berwarna hijau dengan gambar telepon yang melingkar di layar sana. Suara saluran penghubung akhirnya menjamah.

“Halo?”

“Hai, Nduk. Bagaimana kabarmu?” Tidak seperti dugaanku di awal, jika nomor ini milik Kakak Pertama seharusnya dirinya yang memunculkan suara saat menghubungiku, kan?! Namun  tidak seperti itu.

Kakak Kedua seperti CEO bagi perusahaan khayalan milik Kakak Pertama, jika Kakak Pertama sedang halangan sampai tidak sempat memenuhi janji temu dengan klien, Kakak Kedua selalu menjadi pengganti atas ketidaksempurnaannya. Mungkinkah takdir kami sebagai Tujuh Bersaudara adalah menjadi penyempurna hal yang cacat? Jika memang seperti itu, setidaknya aku pun demikian.

Suaraku tersendat dalam kerongkongan, pandanganku lurus ke depan, ponselku kudekatkan pada daun telinga. Suara Kakak Kedua menenangkan, seperti air yang menghanyutkan guyuran ombak menjadi air tenang melenyapkan raga. Suaranya tenang setenang wajahnya, aku berharap wajah itu tetap sama. Keabadian seakan menyertainya. Sepuluh tahun suara itu hanya satu, tidak runtuh termakan waktu.

“Baik…” Jawabku pelan, “koq mas yang nelpon? Ini, kan nomor teleponnya mas…”

“Iya, aku memang menggunakan nomornya mas Pudin.” Jawabnya.

“Kenapa nggak dia aja yang ngangkat, Mas?! Kenapa harus sampean?!” Nadaku terdengar mendengus, kesal dengan ketidakjelasan Kakak Pertama yang selalu datang setiap kali kobaran api semangatnya meredup.

Sepuluh tahun yang lalu dia menciptakan ide yang selanjutnya akan menghasilkan produk yang unggul, dan untuk mengembangkannya pun membutuhkan paling sedikit lima setengah tahun. Jika sekarang mungkin produk itu sudah diminati masyarakat kelas menengah, dan seharusnya jika hal itu terwujud tanpa mempedulikan rasa letihnya yang serupa kanker kronis yang datang tiba-tiba, setidaknya produk itu ada.

“Tidak, mas Pudin emang lagi sibuk aja.” Jawaban Kakak Kedua menyulut kekesalanku sesaat. Selalu ada sesuatu yang ditutup-tutupi olehnya. Seperti sepuluh tahun yang lalu. Tirai hitam itu tetap membalut di sekitar kami, rahasia yang terbalut rahasia.

“Mas, memangnya apa susahnya sih, bicara sama adik kecil kayak aku ini?!! Dia sebagai yang tertua harus, ya, sangking sibuknya sampe’ jawab teleponku aja harus pake’ ajudan?!” Terdengar di seberang jauh sana dari saluran telepon suara Kakak Kedua menghembuskan napasnya pelan.

“Masih saja kamu kayak gitu sama masmu?!”

“Mas, aku sadar, koq, HP ini yang beli dia, biaya kuliahku juga ditanggung sama dia, uang jajan tiap minggu apalagi! Tapi menyempatkan waktu buat adiknya aja nggak bisa!” Sergahku. Hembusan angin di atas atap hendak menghempaskanku seperti kertas yang terbang dalam lembaran-lembaran lusuh, namun hatiku bersikukuh untuk tetap berdiri, meski terik matahari mencoba memanggang keteganganku.

Selalu saja seperti ini, untuk kali ini saudaraku menghubungiku. Dengan nomor yang sama seperti masih berada di dalam masa lalu yang biasa-biasa saja. Terus saja mengungkapkan semua keluh kesahku yang kupendam sendiri di bawah tanaman daun jeruk yang tak jadi.

Kasih sayang dari orang tua tidak akan aku dapatkan sepenuhnya, seperti anak pada umumnya. Bahkan dari Kakak Pertama sekalipun, Kakak Pertama si pecinta buku dengan berasaskan pendidikan islam timur tengah. Bahkan rumah seluas setengah dari luas ruang laboratorium pun dibuat membingungkan seperti labirin dengan dinding berlapis rak buku miliknya.   

Kakak Pertama adalah cinta pertamaku. Bukan bapakku.

Sungguh aku sangat mencintainya, namun bukan berarti aku akan diikat dengan tali pernikahan agar terus bersama dirinya sampai tua. Justru ia sudah memiliki cinta pertamanya sendiri, orang Paciran yang di matanya mungkin cantik dan pintar. Mbak Tiya namanya. Wanita yang dipuja dan diikat janji oleh Kakak Pertama. Janji menikah yang tak kunjung jadi.

Sepuluh tahun yang lalu ia bekerja di bawah naungan seorang Gubernur dengan gaji yang tak sedikit, pekerjaan tanpa menggunakan seragam seperti pegawai KORPRI pada umumnya, pekerjaan yang dia inginkan sejak lama telah ia dapatkan pada saat itu juga. Impiannya yang sesungguhnya.

Dulu aku ingin digaji dengan jumlah yang tak sedikit seperti dia, wanita dengan pipi merona seperti buah palm itu mengatakan kepadaku ketika membahas tentang hanya tidur empat jam dalam sehari. Seperti yang kulakukan saat ini.

 “Nggak usah jauh-jauh ke Korea, Mbak Tiya aja suka tidur empat jam, karena memang harus bekerja keras.  Jadi nggak ada bedanya kita kerja di Korea atau di sini sekalipun, di mana-mana memang harus disiplin.”

Dan ucapan itu menjadi artikel keliling dalam ingatanku, sepuluh tahun yang lalu, sebelum aku menggeluti hidup pertama kali di negara orang. Ingatan tentang dirinya mulai terkikis, cinta pertama Kakak Tertuaku yang ikhlas menjadi yang kedua.

Dan seiring aku menua menjadi anak muda, baru aku menyadarinya. Baru kusadari. Aku hanya adik, seorang adik yang menelan tumpukan janji dengannya yang tak pernah ada. Janji yang tidak pernah ia akui dan meminta maaf kepadaku karena hanya bisa memenuhi ketika aku telah dewasa.

“Mas Pudin itu selalu menempati janji, lho.” Bibir Mbak Tiya memang tidak pernah mengunyah janjiku. Segampang itu mulutnya berucap.

 Nduk, mas menelepon kamu ada urusan penting.” Kakak Kedua mengantarkan pada pembahasan inti, satu kali hembusan napas membawakanku sebuah satu pernyataan. “Bapak, Nduk, nyari’in kamu.”

 Mataku sedikit terbelalak, terkejut, ada satu orang yang hampir lenyap dalam ingatanku. Orang yang membawaku ke dunia agar menjadi beban kakak-kakakku. Luapan dendam masa lalu membeludak macam api unggun dicampur bioethanol, rasa kesal dan tidak bersyukur telah terlahir sebagai anak dari bapakku kembali menyulut hingga ke ujung hidungku.

Bapak yang telah menghadirkan kelima anaknya agar mau merawat dua adiknya yang masih belia, supaya apa? Supaya bapakku tidak mendapatkan tanggungan seperti ayah kepada anaknya. Tanggung jawab karena telah menghamili ibuku sebanyak tujuh kali dan meninggalkannya untuk cari yang lain lagi.

Bapak adalah orang yang menganggap dirinya sebagai seorang pendekar. Ya, pendekar, pendekar yang tak punya uang. Ia bisa mendatangkan petir dan hujan seperti halnya dukun di masanya. Masa ia menjadi yang terkuat dengan kekuatan macam dukun.

Santet dan sejenisnya merupakan keahlian bapak, bahkan bela diri yang memiliki aura membunuh lawan secara nyata pun ia ahlinya. Dengan tafsir mimpi dan makna nama bagi umat manusia di seluruh dunia pun ia tahu rumusnya.

Tentu saja siapa yang tidak bangga memiliki bapak dengan kemampuan di luar nalar itu.

Namun bapak juga tetap saja orang dengan pendidikan rendah yang tidak siap memiliki anak, tidak siap mendidik anak sampai-sampai hanya bisa membuang anaknya ke pesantren. Masa-masa kelam telah dilalui oleh kakak-kakakku. Aku dan adikku tidak menahu tentang itu.

Bapak memiliki tujuh anak dengan wajah yang tak identik namun memiliki sifat yang terwariskan seperti roti tawar yang dibagi-bagi. Sepuluh sifat bapak telah terwariskan pada ketujuh anaknya.

Terdengar khayalan, namun itu nyata terjadi.  Ketujuh anak bapak adalah anak ayam yang berhamburan, seperti gambaran hari kiamat tiba. Saat beranjak dewasa, anak-anaknya mencari kehidupan milik mereka masing-masing, termasuk juga diriku.

Masa mudaku seperti anak sebatang kara, tidak punya ibu dan ayah yang mengasihi, hampir aku menyimpulkan satu hal, aku tidak ada bedanya dengan nasib anak yatim piatu.

Tapi anggapan gila itu diruntuhkan dengan satu tirai penyelamat, kakak-kakakku adalah orang tua yang mengurusku, terutama Kakak Kedua. Kakak Pertama dan Kakak Kedua adalah ayah dan ibu dalam kehidupan masa kecilku dengan saudara termuda.

Kakak Kedua yang membantuku memakai baju dan seragam sekolah. Delapan belas tahun hidupku bersamanya. Kupikir sehabis SMA aku akan pergi jauh ke tempat dimana aku ingin pergi kuliah sebagai mahasiswa, namun Tuhan seakan menjodohkanku dengannya, dalam ikatan seorang kakak yang memiliki adik paling muda yang baru masuk kuliah. Di tempat yang sama, sebut saja dulunya bernama STITMA.

Masa kecilku dan masa kuliahku penuh tentang dirinya.

“Aku akan mengirimkan uang setelah jam tujuh malam nanti.” Nadaku ketus saat menjawabnya, tapi aku benar-benar serius mengatakannya.

“Tidak, bukan itu. Bapak emang lagi nyari’in kamu.” Sepertinya Kakak Kedua memang benar-benar serius dengan kabar yang dibawanya. Tapi apa? “kamu bisa pulang kapan?” ucapan Kakak Kedua berlanjut.

“Kenapa bapak mau nyari’in aku?! Buat apa?!”

Nduk, mas serius. Bapak lagi nyari’in kamu, apa kamu bisa pulang sekarang?! Cuman kamu yang belum pulang ke sini.”

Jantungku berdegup semakin cepat. Timbul pertanyaan liar menggerogoti keningku yang berkerut.

“Aku cuma meminta kejelasan tok, Mas. Kenapa bapak nyari’in aku?!”

“Nanti saja kalau kamu beneran mau kesini. Mas akan jelasin semuanya.” Ada nada yang tertahankan di tengah sekat tenggorokannya. Nada pilu yang seharusnya membawakan nada tangis tak bersuara.

“Mas nggak pernah jelasin apapun kepadaku!” Sergahku bersikukuh. Mengaku bahwa ungkapanku ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, Kakak Kedua lebih memilih diam dibandingkan mengatakan semuanya sebagai bukti. Seperti sebuah pembunuhan berantai. Dia hanya diam, tidak akan menjawab satu hal mengapa bapak tiba-tiba mencariku.

Dia sudah hidup bersama istri dan anak tirinya dengan bibir yang agak maju itu, menciptakan kehidupan baru sebagai keluarga yang mana aku tidak bisa mengusiknya. Aku tidak bisa merusaknya, aku hanya bisa menjadi penonton bagi sinetron keluarga cemara milik bapak.

“Jadi kapan kamu bisa pulang?”

“Aku bisa pulang kapan saja.” Nada bicaraku terdengar angkuh. Agak tidak bersahabat. Ada suara kelegaan di seberang sana, lega meski seolah hanya itu yang bisa ia lakukan jika tidak lagi mendapat  keberuntungan.

“Alhamdulillah kalau begitu. Mas mohon, Nduk. Mungkin ini untuk terakhir kalinya. Bapak ingin ketemu kamu.”

Ucapan Kakak Kedua memburuku, ada sayatan ancaman yang baru saja menikamku hingga membuatku tercekat karenanya.

Terakhir kali. Tidak mungkin! Aku berharap ini semua hanya mimpi.

“Kami nggak bisa memaksamu kalau sekiranya nggak bisa pulang, Nduk. Mas cuman kasih tahu aja. Semoga kamu di sana bisa jaga diri, ya.” Katanya sebelum mengakhiri telepon. Entah memaksa atau tidak, kesan Kakak Kedua menunjukkan satu hal bahwa aku harus pulang. Hari ini.

Kenangan demi kenangan, kebenaran demi kebenaran tentang sosok bapakku yang tega meninggalkan ibuku demi wanita lain kembali terrekam dalam ingatan, sembari menyelusuri tangga spiral alih-alih hendak membawa beberapa barangku untuk kubawa pulang nanti, dengan lincah kakiku menuruni tangga tanpa cela yang tega membuatku harus terjatuh macam adegan drama.

Setelah mengakhiri telepon, aku kembali ke dalam kehidupanku. Berkutat dengan orang-orang goryo dengan bahasa mereka yang bagi Kakak Pertama adalah bahasa iblis.

Aku tidak mengiyakan apapun di sekitarku, kulacak barang-barangku yang masih berada di ruang tamu dan segera menyambarnya ketika aku menemukanya. Minjae bersuara saat menyadari keberadaanku.

“Mendesak, kan, Nuna?”

“Haa…mungkin kau benar, sanbae. Kali ini. Dan untuk hari ini, atau mungkin sampai besok.”

“Mau kemana kau, Go Hwa~ssi?” Suara Wooyoung menyapa, ketika aku mulai mengenakan jaket dan mantelku, menata sedikit rambutku yang terurai rendah, dan satu ransel kulit, berisi beberapa barang seperti charger ponsel, AirPods, Powerbank, alat make up, kotak skincare, kotak peralatan mandi, kartu bus, ATM, dompet, dan beberapa uang cash yang mungkin bisa aku berikan kepada keponakan-keponakanku nanti saat setibanya di Tuban.

“Aku mau pulang!”

“Pulang??”

“Iya, pulang ke Indonesia.” Jawabku mantap.

“Tapi, Go Hwa. Kata Pak Yoon Hwan kau akan melakukan comeback sebentar lagi.” Sela Wooyoung, seniorku angkatan pertama di perusahaan ini. Atau mungkin KQ Fellaz yang pertama.

“Kata siapa?” Wooyoung malas menjawab, “Pak Yoon Hwan sudah mensetujui lirik lagu yang kau buat, Hong Joong~hyung juga bilang begitu, jadi jadwal comeback sudah disepakati bakal tanggal berapa. Mungkin setelah xikers menyelesaikan tur mereka kali, ya.”

Di tengah-tengah suara Minjae mengucapkan selamat padaku, aku tetap membulatkan tekad untuk segera beranjak dari sana. Belum sempat aku melangkah, seseorang sudah sedari tadi berada di belakangku. Mengejutkanku. Mata sipit dengan badan tambun, setambun kedua pipinya yang gempal, menatapku.

“Pak! Hehe…sejak kapan anda di sini?”

“Sejak kau memutuskan untuk pergi dari sini! Mau kemana kamu!” Nada terakhir sedikit dipertegas.

“Mau pulang, Pak.” Jawabku singkat. “Kau yakin akan keputusanmu?”

“Yakin, Pak.”

“Sejauh mana.”

“Sejauh anda mensetujui untuk merobek G-string saya dan memberi saya uang seratus dollar. Pak, comeback-nya nanti saja, saya mau pulang! Bapak sekarat!” Ucapanku cukup membungkam dirinya.

begitu juga Wooyoung dan Minjae, dan baru kusadari seluruh anggota ternyata sedang berada di sana, delapan belas lelaki yang terdiam setelah mendengar kata-kataku.

Dalam industri musik tidak ada yang lebih indah selain mendengarkan dan melihat kecantikan sosok pelantun lagu, namun tidak ada yang pernah tahu dari balik itu semua tersimpan ruang kelam yang menyorot pada orientasi intim para penyanyi wanita di dalam sana.

Langkahku tak pernah gontai, tak pernah runtuh karena ombak keheningan yang mereka cipta. Tujuanku hanya satu, aku akan pulang bertemu dengan bapakku.

Tentu saja ada beberapa staff yang mengantarkanku hingga sampai ke sana, alibiku aku harus sampai sebelum jam sepuluh malam. seluruh warga perusahaan sudah mengetahuinya, mereka bertanggung jawab atas urusan jadwalku ke depan selagi aku pulang ke kampung halaman.

Di media identitasku tidak dipublikasikan, bahkan untuk urusan keluargaku. Tak segampang Choi San yang berduka atas meninggalnya kakek tersayangnya.

Tak masalah berapapun harganya tiket pesawat untuk tiga jam bisa sampai di Indonesia, jika Kakak Kedua mengatakan bahwa ini adalah terakhir kalinya, terakhir kalinya memiliki raga bapak.

“Berapa harganya, Mas?” Tanyaku pada managerku.

“Kalau sampai tiga hari bisa empat setengah juta.”

“Kalau tiga jam?”

“Dua puluh juta.”

Yowes ambil yang dua puluh juta aja.”

“Ha?”

“Eh, maksudku dua puluh juta.”    

Dan meluncurlah diriku bersama pesawat kelas A, pesawat yang menembus atmosfer awan-awan hingga bisa berada di bawahnya, mengantarkanku dari Negeri Empat Musim menuju ke Negeri Dua Musim. Suhu dari dua perbedaan yang ada mulai menyisakan embun di permukaan kaca jendela.

 Awalnya pihak perusahaan menawarkanku jet pribadi yang biasanya digunakan para seniorku kalau sedang tur dunia, melaju ke bandara Soekarno-Hatta dan menaiki bus menuju ke Tuban. Tapi aku menolak tanpa alasan. Aku tidak memikirkan apapun kecuali tentang bapak.

Orang tua itu. Satu-satunya yang memiliki ketujuh bersaudara dari isteri pertamanya yang lebih cantik dibandingkan isteri-isteri berikutnya itu. Orang yang tak pernah aku pikirkan kan kembali pulang ke rumah-ku.

Pria tua dengan parasnya yang tampan itu entah sejak kapan ia berbaring di atas dipan beralaskan karpet kulit motif bunga hitam, setelah lima tahun lamanya memikirkan diri sendiri dan memutuskan untuk menikah sekali lagi.

Bapak selamanya tidak akan menjadi pahlawan bagiku, tidak akan menjadi cinta pertamaku. Bersyukur menjadi pewaris bagi gen kewarasan darinya pun apalagi, alibiku berkata sifat bapak lebih baik terhenti hanya padaku saja.

Kedatanganku disambut dengan duka bisu, beberapa saudaraku kusalami secara semestinya, begitu juga adikku kepadaku, tetangga-tetangga dari rumah lama menatapku tak berkutik, menerka-nerka siapa lagi yang datang ini. “Apa dia anaknya Mbah Diq?” pertanyaan seorang anak muda membisik kepada seorang perempuan usia ibu-ibu.

Aku tahu ibu-ibu itu pasti mengenaliku, banyak anak mereka telah tumbuh seperti keponakanku dari Kakak Pertama yang tidak akan kenal siapa aku, usia mereka sudah berada di bangku SMA, tentu sulit menerima diriku yang telah berdebu seperti manikin di depan toko baju.

“Di mana bapak?” pertanyaanku menjadi monolog dalam bisu, tidak ada yang menjawab, orang-orang dan keluarga besar yang sebagiannya berasal dari keluarga kakak-kakakku dan adikku hanya memberikanku jalan menuju ke tempat yang kumaksud. Karpet merah tak kasat mata tergelar di atas sana menyambutku.

Di tempat bapak terbaring.

Sempat pandanganku mengarah pada Kakak Kelima, kupanggil namanya dalam pelan, “ada apa…dengan bapak?!!” seperti kakak-kakak yang lainnya, mereka memilih untuk diam. Seribu bahasa tak akan mereka pakai untuk menjawab pertanyaanku jika mereka memilih untuk mengheningkan suasana.

Sampai pada akhirnya wajah keriput dengan kerutan sawo matang itu terlihat, dengan kelopak mata tertidur tidak akan kembali hanya untuk menyapaku. Bayangan itu kembali terpampang, tubuh bapak terbalut kain keabadian, di atas sarung batik berwarna cokelat.

Penulis : Maulida Sufi Hindun

 

Advertisement

Cari sesuatu di sini

Close