Sudah terakhir kali semenjak aku
meninggalkan tempat yang seharusnya aku sebut dengan “rumah” diriku pun mendapatkan
panggilan dari Kakak Kedua. Sepuluh tahun rasanya seperti hanya kemarin,
membawaku ke dalam gerbang sebuah situasi di mana aku hampir saja melupakan
ponselku yang tergeletak di atas meja di antara kursi sofa ruang tamu milik
perusahaan.
“Eumm…Go Hwa~nuna?” Aku menoleh ke
arah sumber suara, mengangkat wajah ke arahnya. Lelaki itu umurnya dua tahun
lebih muda dibandingkan diriku, namun ia telah mengajarkanku sebagai seorang
yang profesional di atas panggung. Panggil saja Kim Minjae. “Ada apa?”
“Apakah ini ponsel anda?” Pertanyaannya
menjurus sembari menunjukkan kepadaku layar ponsel yang menorehkan nama kontak “michin
ge” yang artinya adalah anjing gila, nama kontak lama milik Kakak Pertama.
Segera aku menyambar ponsel lama yang
dibelikan Kakak Pertama sepuluh tahun lalu itu dari tangannya, lelaki itu memasang
ekspresi bingung dan agak ngeri. Bisa-bisanya aku mendapatkan panggilan dari
kontak dengan nama yang tidak senonoh itu, bagi mereka panggilan itu terdengar
kasar.
Amat sangat kasar, sampai mereka tidak bisa
menghentikan siapapun untuk mengendalikan diri dan akan menyebutnya secara
lantang karena penyebab utama lahirnya kata-kata itu tersebar di seluruh dunia
hanya melalui drama.
Tentu Minjae akan malu padaku begitupun
diriku kepadanya, lima tahun kami bekerja sama dalam satu mitra yang sama, nama
kontak panggilan itu kembali menutup kubu di antara kami. Mimik wajah Minjae
menggambarkan satu hal, siapa sebenarnya Hyun Go Hwa itu.
Ponsel itu masih berdering, meminta untuk
segera diterima oleh sang pemiliknya, namun aku tak segera melakukannya,
kupandang layar ponselku seakan hendak membaca situasi. Baru beberapa saat yang
lalu aku meninggalkan ponsel ini di atas sana alih-alih melupakannya. Kini ia
membawakanku sebuah kiriman panggilan. Masa lalu mengetuk pintu ingatanku untuk
segera menerimanya.
Panggilan dari nomor kontak yang tidak akan
pernah menyempatkan menghubungiku selagi aku bisa bertemu dirinya di tempat
yang sama. Nomor itu masih sama, masih dengan photo profile yang sama,
dengan nama yang tak akan berubah termakan masa.
Suara dering nada panggilan itu membungkus
keheningan sesaat.
“Nuna, kalau memang mendesak, sebaiknya
angkat saja teleponnya.” Ujar Minjae kepadaku, aku mengatupkan ponselku ke
dada, menutupi layar ponsel sepenuhnya ada bersamaku, sontak aku mengangkat
wajah, tersenyum padanya seakan tidak terjadi apa-apa.
“Aah…tidak apa. Aku akan mengangkat
panggilannya nanti. Terima kasih, ya, sudah mengingatkanku.”
“Apa…tidak apa-apa?” Minjae bertanya,
“sepertinya ada yang mendesak, Nuna.” Wajahnya spontan menyondongkan
diri ke arahku, seolah berusaha melihat apakah sekarang ponsel itu sedang
berada di dalam panggilan, sementara suara dering masih terdengar.
“Apa yang sedang terjadi, Nuna?” Aku
tak menjawab rasa penasaran Minjae yang mencoba mengintai diriku yang tidak
bergegas mengangkat panggilan dari nomor Kakak
Pertama, aku pun mohon undur diri pergi meninggalkan ruang tamu
perusahaan yang seluas dua kali kamarku itu.
Juga meninggalkan Minjae yang terus
dihujani dengan rasa penasaran yang tinggi.
Aku menapaki tangga spiral menuju ke atas
atap gedung perusahaan, tangga darurat yang terhubung dengan tangga spiral
lainnya yang mnghubungkan semua tingkatan yang ada, di sinilah tempat aku menghempaskan
segala ungkapan rahasiaku kepada angin dan cakrawala dunia. Orang goryo macam
Minjae dan yang lainnya tidak perlu mengetahuinya. Rahasia keluarga adalah
bentuk kemaluan yang sebenarnya.
Sendirian bersama ponselku yang terus
berdering. Kutekan tombol berwarna hijau dengan gambar telepon yang melingkar
di layar sana. Suara saluran penghubung akhirnya menjamah.
“Halo?”
“Hai, Nduk. Bagaimana kabarmu?”
Tidak seperti dugaanku di awal, jika nomor ini milik Kakak Pertama seharusnya
dirinya yang memunculkan suara saat menghubungiku, kan?! Namun tidak seperti itu.
Kakak Kedua seperti CEO bagi perusahaan
khayalan milik Kakak Pertama, jika Kakak Pertama sedang halangan sampai tidak
sempat memenuhi janji temu dengan klien, Kakak Kedua selalu menjadi pengganti
atas ketidaksempurnaannya. Mungkinkah takdir kami sebagai Tujuh Bersaudara
adalah menjadi penyempurna hal yang cacat? Jika memang seperti itu, setidaknya
aku pun demikian.
Suaraku tersendat dalam kerongkongan,
pandanganku lurus ke depan, ponselku kudekatkan pada daun telinga. Suara Kakak
Kedua menenangkan, seperti air yang menghanyutkan guyuran ombak menjadi air
tenang melenyapkan raga. Suaranya tenang setenang wajahnya, aku berharap wajah
itu tetap sama. Keabadian seakan menyertainya. Sepuluh tahun suara itu hanya
satu, tidak runtuh termakan waktu.
“Baik…” Jawabku pelan, “koq mas yang
nelpon? Ini, kan nomor teleponnya mas…”
“Iya, aku memang menggunakan nomornya mas Pudin.”
Jawabnya.
“Kenapa nggak dia aja yang ngangkat, Mas?!
Kenapa harus sampean?!” Nadaku terdengar mendengus, kesal dengan
ketidakjelasan Kakak Pertama yang selalu datang setiap kali kobaran api
semangatnya meredup.
Sepuluh tahun yang lalu dia menciptakan ide
yang selanjutnya akan menghasilkan produk yang unggul, dan untuk
mengembangkannya pun membutuhkan paling sedikit lima setengah tahun. Jika
sekarang mungkin produk itu sudah diminati masyarakat kelas menengah, dan
seharusnya jika hal itu terwujud tanpa mempedulikan rasa letihnya yang serupa
kanker kronis yang datang tiba-tiba, setidaknya produk itu ada.
“Tidak, mas Pudin emang lagi sibuk aja.”
Jawaban Kakak Kedua menyulut kekesalanku sesaat. Selalu ada sesuatu yang
ditutup-tutupi olehnya. Seperti sepuluh tahun yang lalu. Tirai hitam itu tetap
membalut di sekitar kami, rahasia yang terbalut rahasia.
“Mas, memangnya apa susahnya sih, bicara
sama adik kecil kayak aku ini?!! Dia sebagai yang tertua harus, ya, sangking
sibuknya sampe’ jawab teleponku aja harus pake’ ajudan?!” Terdengar di seberang
jauh sana dari saluran telepon suara Kakak Kedua menghembuskan napasnya pelan.
“Masih saja kamu kayak gitu sama masmu?!”
“Mas, aku sadar, koq, HP ini yang
beli dia, biaya kuliahku juga ditanggung sama dia, uang jajan tiap minggu
apalagi! Tapi menyempatkan waktu buat adiknya aja nggak bisa!” Sergahku.
Hembusan angin di atas atap hendak menghempaskanku seperti kertas yang terbang
dalam lembaran-lembaran lusuh, namun hatiku bersikukuh untuk tetap berdiri,
meski terik matahari mencoba memanggang keteganganku.
Selalu saja seperti ini, untuk kali ini
saudaraku menghubungiku. Dengan nomor yang sama seperti masih berada di dalam
masa lalu yang biasa-biasa saja. Terus saja mengungkapkan semua keluh kesahku
yang kupendam sendiri di bawah tanaman daun jeruk yang tak jadi.
Kasih sayang dari orang tua tidak akan aku
dapatkan sepenuhnya, seperti anak pada umumnya. Bahkan dari Kakak Pertama
sekalipun, Kakak Pertama si pecinta buku dengan berasaskan pendidikan islam
timur tengah. Bahkan rumah seluas setengah dari luas ruang laboratorium pun
dibuat membingungkan seperti labirin dengan dinding berlapis rak buku miliknya.
Kakak Pertama adalah cinta pertamaku. Bukan
bapakku.
Sungguh aku sangat mencintainya, namun
bukan berarti aku akan diikat dengan tali pernikahan agar terus bersama dirinya
sampai tua. Justru ia sudah memiliki cinta pertamanya sendiri, orang Paciran
yang di matanya mungkin cantik dan pintar. Mbak Tiya namanya. Wanita yang
dipuja dan diikat janji oleh Kakak Pertama. Janji menikah yang tak kunjung
jadi.
Sepuluh tahun yang lalu ia bekerja di bawah
naungan seorang Gubernur dengan gaji yang tak sedikit, pekerjaan tanpa
menggunakan seragam seperti pegawai KORPRI pada umumnya, pekerjaan yang dia
inginkan sejak lama telah ia dapatkan pada saat itu juga. Impiannya yang
sesungguhnya.
Dulu aku ingin digaji dengan jumlah yang
tak sedikit seperti dia, wanita dengan pipi merona seperti buah palm itu mengatakan
kepadaku ketika membahas tentang hanya tidur empat jam dalam sehari. Seperti
yang kulakukan saat ini.
“Nggak usah jauh-jauh ke Korea, Mbak Tiya aja
suka tidur empat jam, karena memang harus bekerja keras. Jadi nggak ada bedanya kita kerja di Korea
atau di sini sekalipun, di mana-mana memang harus disiplin.”
Dan ucapan itu menjadi artikel keliling
dalam ingatanku, sepuluh tahun yang lalu, sebelum aku menggeluti hidup pertama
kali di negara orang. Ingatan tentang dirinya mulai terkikis, cinta pertama
Kakak Tertuaku yang ikhlas menjadi yang kedua.
Dan seiring aku menua menjadi anak muda, baru
aku menyadarinya. Baru kusadari. Aku hanya adik, seorang adik yang menelan
tumpukan janji dengannya yang tak pernah ada. Janji yang tidak pernah ia akui
dan meminta maaf kepadaku karena hanya bisa memenuhi ketika aku telah dewasa.
“Mas Pudin itu selalu menempati janji,
lho.” Bibir Mbak Tiya memang tidak pernah mengunyah janjiku. Segampang itu mulutnya
berucap.
“Nduk,
mas menelepon kamu ada urusan penting.” Kakak Kedua mengantarkan pada
pembahasan inti, satu kali hembusan napas membawakanku sebuah satu pernyataan.
“Bapak, Nduk, nyari’in kamu.”
Mataku sedikit terbelalak, terkejut, ada satu
orang yang hampir lenyap dalam ingatanku. Orang yang membawaku ke dunia agar
menjadi beban kakak-kakakku. Luapan dendam masa lalu membeludak macam api
unggun dicampur bioethanol, rasa kesal dan tidak bersyukur telah terlahir
sebagai anak dari bapakku kembali menyulut hingga ke ujung hidungku.
Bapak yang telah menghadirkan kelima
anaknya agar mau merawat dua adiknya yang masih belia, supaya apa? Supaya
bapakku tidak mendapatkan tanggungan seperti ayah kepada anaknya. Tanggung
jawab karena telah menghamili ibuku sebanyak tujuh kali dan meninggalkannya
untuk cari yang lain lagi.
Bapak adalah orang yang menganggap dirinya
sebagai seorang pendekar. Ya, pendekar, pendekar yang tak punya uang. Ia bisa
mendatangkan petir dan hujan seperti halnya dukun di masanya. Masa ia menjadi
yang terkuat dengan kekuatan macam dukun.
Santet dan sejenisnya merupakan keahlian
bapak, bahkan bela diri yang memiliki aura membunuh lawan secara nyata pun ia
ahlinya. Dengan tafsir mimpi dan makna nama bagi umat manusia di seluruh dunia
pun ia tahu rumusnya.
Tentu saja siapa yang tidak bangga memiliki
bapak dengan kemampuan di luar nalar itu.
Namun bapak juga tetap saja orang dengan
pendidikan rendah yang tidak siap memiliki anak, tidak siap mendidik anak
sampai-sampai hanya bisa membuang anaknya ke pesantren. Masa-masa kelam
telah dilalui oleh kakak-kakakku. Aku dan adikku tidak menahu tentang itu.
Bapak memiliki tujuh anak dengan wajah yang
tak identik namun memiliki sifat yang terwariskan seperti roti tawar yang
dibagi-bagi. Sepuluh sifat bapak telah terwariskan pada ketujuh anaknya.
Terdengar khayalan, namun itu nyata
terjadi. Ketujuh anak bapak adalah anak
ayam yang berhamburan, seperti gambaran hari kiamat tiba. Saat beranjak dewasa,
anak-anaknya mencari kehidupan milik mereka masing-masing, termasuk juga
diriku.
Masa mudaku seperti anak sebatang kara,
tidak punya ibu dan ayah yang mengasihi, hampir aku menyimpulkan satu hal, aku
tidak ada bedanya dengan nasib anak yatim piatu.
Tapi anggapan gila itu diruntuhkan dengan
satu tirai penyelamat, kakak-kakakku adalah orang tua yang mengurusku, terutama
Kakak Kedua. Kakak Pertama dan Kakak Kedua adalah ayah dan ibu dalam kehidupan
masa kecilku dengan saudara termuda.
Kakak Kedua yang membantuku memakai baju
dan seragam sekolah. Delapan belas tahun hidupku bersamanya. Kupikir sehabis
SMA aku akan pergi jauh ke tempat dimana aku ingin pergi kuliah sebagai
mahasiswa, namun Tuhan seakan menjodohkanku dengannya, dalam ikatan seorang
kakak yang memiliki adik paling muda yang baru masuk kuliah. Di tempat yang
sama, sebut saja dulunya bernama STITMA.
Masa kecilku dan masa kuliahku penuh
tentang dirinya.
“Aku akan mengirimkan uang setelah jam
tujuh malam nanti.” Nadaku ketus saat menjawabnya, tapi aku benar-benar serius
mengatakannya.
“Tidak, bukan itu. Bapak emang lagi
nyari’in kamu.” Sepertinya Kakak Kedua memang benar-benar serius dengan kabar
yang dibawanya. Tapi apa? “kamu bisa pulang kapan?” ucapan Kakak Kedua
berlanjut.
“Kenapa bapak mau nyari’in aku?! Buat
apa?!”
“Nduk, mas serius. Bapak lagi
nyari’in kamu, apa kamu bisa pulang sekarang?! Cuman kamu yang belum pulang ke
sini.”
Jantungku berdegup semakin cepat. Timbul
pertanyaan liar menggerogoti keningku yang berkerut.
“Aku cuma meminta kejelasan tok,
Mas. Kenapa bapak nyari’in aku?!”
“Nanti saja kalau kamu beneran mau kesini.
Mas akan jelasin semuanya.” Ada nada yang tertahankan di tengah sekat
tenggorokannya. Nada pilu yang seharusnya membawakan nada tangis tak bersuara.
“Mas nggak pernah jelasin apapun kepadaku!”
Sergahku bersikukuh. Mengaku bahwa ungkapanku ini adalah sesuatu yang pasti
terjadi, Kakak Kedua lebih memilih diam dibandingkan mengatakan semuanya
sebagai bukti. Seperti sebuah pembunuhan berantai. Dia hanya diam, tidak akan
menjawab satu hal mengapa bapak tiba-tiba mencariku.
Dia sudah hidup bersama istri dan anak
tirinya dengan bibir yang agak maju itu, menciptakan kehidupan baru sebagai
keluarga yang mana aku tidak bisa mengusiknya. Aku tidak bisa merusaknya, aku
hanya bisa menjadi penonton bagi sinetron keluarga cemara milik bapak.
“Jadi kapan kamu bisa pulang?”
“Aku bisa pulang kapan saja.” Nada bicaraku
terdengar angkuh. Agak tidak bersahabat. Ada suara kelegaan di seberang sana,
lega meski seolah hanya itu yang bisa ia lakukan jika tidak lagi mendapat keberuntungan.
“Alhamdulillah kalau begitu. Mas mohon, Nduk.
Mungkin ini untuk terakhir kalinya. Bapak ingin ketemu kamu.”
Ucapan Kakak Kedua memburuku, ada sayatan
ancaman yang baru saja menikamku hingga membuatku tercekat karenanya.
Terakhir kali. Tidak mungkin! Aku berharap ini semua
hanya mimpi.
“Kami nggak bisa memaksamu kalau sekiranya
nggak bisa pulang, Nduk. Mas cuman kasih tahu aja. Semoga kamu di sana
bisa jaga diri, ya.” Katanya sebelum mengakhiri telepon. Entah memaksa atau
tidak, kesan Kakak Kedua menunjukkan satu hal bahwa aku harus pulang. Hari ini.
Kenangan demi kenangan, kebenaran demi
kebenaran tentang sosok bapakku yang tega meninggalkan ibuku demi wanita lain
kembali terrekam dalam ingatan, sembari menyelusuri tangga spiral alih-alih
hendak membawa beberapa barangku untuk kubawa pulang nanti, dengan lincah
kakiku menuruni tangga tanpa cela yang tega membuatku harus terjatuh macam
adegan drama.
Setelah mengakhiri telepon, aku kembali ke
dalam kehidupanku. Berkutat dengan orang-orang goryo dengan bahasa
mereka yang bagi Kakak Pertama adalah bahasa iblis.
Aku tidak mengiyakan apapun di sekitarku,
kulacak barang-barangku yang masih berada di ruang tamu dan segera menyambarnya
ketika aku menemukanya. Minjae bersuara saat menyadari keberadaanku.
“Mendesak, kan, Nuna?”
“Haa…mungkin kau benar, sanbae. Kali
ini. Dan untuk hari ini, atau mungkin sampai besok.”
“Mau kemana kau, Go Hwa~ssi?”
Suara Wooyoung menyapa, ketika aku mulai mengenakan jaket dan mantelku, menata
sedikit rambutku yang terurai rendah, dan satu ransel kulit, berisi beberapa
barang seperti charger ponsel, AirPods, Powerbank, alat
make up, kotak skincare, kotak peralatan mandi, kartu bus, ATM, dompet, dan
beberapa uang cash yang mungkin bisa aku berikan kepada keponakan-keponakanku
nanti saat setibanya di Tuban.
“Aku mau pulang!”
“Pulang??”
“Iya, pulang ke Indonesia.” Jawabku mantap.
“Tapi, Go Hwa. Kata Pak Yoon Hwan kau akan
melakukan comeback sebentar lagi.” Sela Wooyoung, seniorku angkatan
pertama di perusahaan ini. Atau mungkin KQ Fellaz yang pertama.
“Kata siapa?” Wooyoung malas menjawab, “Pak
Yoon Hwan sudah mensetujui lirik lagu yang kau buat, Hong Joong~hyung juga
bilang begitu, jadi jadwal comeback sudah disepakati bakal tanggal
berapa. Mungkin setelah xikers menyelesaikan tur mereka kali, ya.”
Di tengah-tengah suara Minjae mengucapkan
selamat padaku, aku tetap membulatkan tekad untuk segera beranjak dari sana.
Belum sempat aku melangkah, seseorang sudah sedari tadi berada di belakangku.
Mengejutkanku. Mata sipit dengan badan tambun, setambun kedua pipinya yang
gempal, menatapku.
“Pak! Hehe…sejak kapan anda di sini?”
“Sejak kau memutuskan untuk pergi dari
sini! Mau kemana kamu!” Nada terakhir sedikit dipertegas.
“Mau pulang, Pak.” Jawabku singkat. “Kau
yakin akan keputusanmu?”
“Yakin, Pak.”
“Sejauh mana.”
“Sejauh anda mensetujui untuk merobek G-string
saya dan memberi saya uang seratus dollar. Pak, comeback-nya nanti saja,
saya mau pulang! Bapak sekarat!” Ucapanku cukup membungkam dirinya.
begitu juga Wooyoung dan Minjae, dan baru
kusadari seluruh anggota ternyata sedang berada di sana, delapan belas lelaki yang
terdiam setelah mendengar kata-kataku.
Dalam industri musik tidak ada yang lebih
indah selain mendengarkan dan melihat kecantikan sosok pelantun lagu, namun
tidak ada yang pernah tahu dari balik itu semua tersimpan ruang kelam yang
menyorot pada orientasi intim para penyanyi wanita di dalam sana.
Langkahku tak pernah gontai, tak pernah
runtuh karena ombak keheningan yang mereka cipta. Tujuanku hanya satu, aku akan
pulang bertemu dengan bapakku.
Tentu saja ada beberapa staff yang
mengantarkanku hingga sampai ke sana, alibiku aku harus sampai sebelum jam
sepuluh malam. seluruh warga perusahaan sudah mengetahuinya, mereka bertanggung
jawab atas urusan jadwalku ke depan selagi aku pulang ke kampung halaman.
Di media identitasku tidak dipublikasikan,
bahkan untuk urusan keluargaku. Tak segampang Choi San yang berduka atas
meninggalnya kakek tersayangnya.
Tak masalah berapapun harganya tiket
pesawat untuk tiga jam bisa sampai di Indonesia, jika Kakak Kedua mengatakan bahwa
ini adalah terakhir kalinya, terakhir kalinya memiliki raga bapak.
“Berapa harganya, Mas?” Tanyaku pada
managerku.
“Kalau sampai tiga hari bisa empat setengah
juta.”
“Kalau tiga jam?”
“Dua puluh juta.”
“Yowes ambil yang dua puluh juta
aja.”
“Ha?”
“Eh, maksudku dua puluh juta.”
Dan meluncurlah diriku bersama pesawat
kelas A, pesawat yang menembus atmosfer awan-awan hingga bisa berada di
bawahnya, mengantarkanku dari Negeri Empat Musim menuju ke Negeri Dua Musim.
Suhu dari dua perbedaan yang ada mulai menyisakan embun di permukaan kaca
jendela.
Awalnya
pihak perusahaan menawarkanku jet pribadi yang biasanya digunakan para seniorku
kalau sedang tur dunia, melaju ke bandara Soekarno-Hatta dan menaiki bus menuju
ke Tuban. Tapi aku menolak tanpa alasan. Aku tidak memikirkan apapun kecuali
tentang bapak.
Orang tua itu. Satu-satunya yang memiliki
ketujuh bersaudara dari isteri pertamanya yang lebih cantik dibandingkan isteri-isteri
berikutnya itu. Orang yang tak pernah aku pikirkan kan kembali pulang ke rumah-ku.
Pria tua dengan parasnya yang tampan itu
entah sejak kapan ia berbaring di atas dipan beralaskan karpet kulit motif
bunga hitam, setelah lima tahun lamanya memikirkan diri sendiri dan memutuskan
untuk menikah sekali lagi.
Bapak selamanya tidak akan menjadi pahlawan
bagiku, tidak akan menjadi cinta pertamaku. Bersyukur menjadi pewaris bagi gen
kewarasan darinya pun apalagi, alibiku berkata sifat bapak lebih baik terhenti
hanya padaku saja.
Kedatanganku disambut dengan duka bisu,
beberapa saudaraku kusalami secara semestinya, begitu juga adikku kepadaku,
tetangga-tetangga dari rumah lama menatapku tak berkutik, menerka-nerka siapa
lagi yang datang ini. “Apa dia anaknya Mbah Diq?” pertanyaan seorang anak muda
membisik kepada seorang perempuan usia ibu-ibu.
Aku tahu ibu-ibu itu pasti mengenaliku,
banyak anak mereka telah tumbuh seperti keponakanku dari Kakak Pertama yang
tidak akan kenal siapa aku, usia mereka sudah berada di bangku SMA, tentu sulit
menerima diriku yang telah berdebu seperti manikin di depan toko baju.
“Di mana bapak?” pertanyaanku menjadi
monolog dalam bisu, tidak ada yang menjawab, orang-orang dan keluarga besar
yang sebagiannya berasal dari keluarga kakak-kakakku dan adikku hanya
memberikanku jalan menuju ke tempat yang kumaksud. Karpet merah tak kasat mata
tergelar di atas sana menyambutku.
Di tempat bapak terbaring.
Sempat pandanganku mengarah pada Kakak
Kelima, kupanggil namanya dalam pelan, “ada apa…dengan bapak?!!” seperti
kakak-kakak yang lainnya, mereka memilih untuk diam. Seribu bahasa tak akan
mereka pakai untuk menjawab pertanyaanku jika mereka memilih untuk
mengheningkan suasana.
Sampai pada akhirnya wajah keriput dengan kerutan sawo matang itu terlihat, dengan kelopak mata tertidur tidak akan kembali hanya untuk menyapaku. Bayangan itu kembali terpampang, tubuh bapak terbalut kain keabadian, di atas sarung batik berwarna cokelat.
Penulis : Maulida Sufi Hindun
Social Footer