Breaking News

Gadis Tak Bernama

Tulisan Alun-alun Tuban yang berada di utara Alun-alun/Foto: Okezone
LPM Makhibra - Gadis itu tanpa nama, atau bisa kau katakan ia tidak pernah mau menyebutkan namanya kepada siapapun orang yang dikenalnya. Bahkan kepada Topan, sang kekasih. Bisa dibilang hubungan Topan dengan Gadis Tanpa Nama dimulai ketika mereka sedang berada di sekitar street food dekat Alun-Alun Tuban, tepatnya pada malam minggu. Sepasang manusia jomblo dengan takdir yang digariskan Tuhan mulai dipertemukan. Tanpa disengaja mereka berada di lokasi yang sama. Tatapan mereka benar-benar berpapasan.

“Lho? Kamu suka makan bakso juga’?!”

“Ya! Makanan favoritku salah satunya adalah bakso.”

“Kenapa kamu makan bakso pas malming? Di hari lain, kan, bisa?!”

“Apa mungkin kamu juga sama-sama nggak punya pacar? Makanya makan bakso pas malam minggu?!” Timpal Topan yang langsung disambut oleh tawa gadis itu yang terdengar renyah. Seolah tidak ada beban kehidupan yang ia letakkan pada masing-masing kedua pundaknya.

Gadis itu cantik, bagi Topan gadis itu memiliki aura yang kuat, membuat orang-orang tertentu terpikat, bukan berarti semua orang, namun di manapun gadis itu melangkah, orang-orang akan memandangnya dengan ekspresi tak percaya. Gimik wajah yang mengatakan bahwa gadis itu memiliki seribu pintu misteri yang bisa mengantarkannya ke negeri yang penuh dengan rahasia.

Seperti bidadari yang terjatuh dari surga karena sayapnya terpotong oleh pedang Jibril, gadis itu memiliki kulit langsat yang sedikit bersinar di bawah cahaya lampu, seperti tidak ada pori-pori di wajahnya, rambutnya tergerai indah macam iklan shampoo livebuoy, begitu lebat dan bercahaya. Matanya hitam kecokelatan. Tidak begitu sipit juga tidak begitu lebar. Tidak hanya itu, dia memiliki bentuk badan bak mbak-mbak model majalah kekinian milik orang kapitalis. Jika dia mau, mungkin ia sudah menjadi model papan atas yang digemari oleh ibu-ibu dan menjadi idaman para om-om CEO. Dan mungkin dia tidak akan bertemu dengan Topan.

“Kamu cantik, kita pacaran, yuk!”

“Ayuk!”

“Lha??”

“Ada apa?”

“Semudah itu kamu nerima ajakanku?”

“Well, kamu maunya kayak gimana? Drama dulu, gitu? Biar aku keliatan ngejar kamu? Kalau aku yang ngajak, nggak pa pa klo kamu menjauh. Nanti aku kejar kamu sampe’ ke rumah kamu.” Topan terbahak, merasa konyol. Namun ucapan gadis itu cukup menghiburnya. Menampar pipinya sekaligus mengelus lembut pipinya seperti seorang bocah TK.

Pada malam minggu Car Free Night di Bundaran Sleko mereka pun mulai  menghabiskan waktu bersama, membeli jajanan di street food dan memakannya bersama di atas pohon beringin, sembari menunjuk kendaraan yang lewat dan bertanding siapa yang menghitung kendaraan warna merah  terbanyak.

Gadis itu semakin menjadi bagian rutin dalam kehidupan Topan, sistem sensoriknya telah mencatat, ia akan pergi malam mingguan bersama gadis itu…

Gadis yang belum ia kenal namanya.

“Aah, iya…” Gumamnya, “aku belum pernah bertanya tentang namanya.” Sambungnya sedikit tercekat, sembari menepuk kepalanya, seakan ada sesuatu yang tertinggal masuk ke memorinya. Yaitu nama kekasihnya.

Sosok Topan tidak bisa disalahkan tentang hal ini, ia tidak perlu disebut ceroboh karena telah mengencani gadis tak dikenalnya. Namun keterikatan batin di antara keduanya telah lebih dulu merajalela, terlepas dari Topan yang lupa menanyakan soal namanya.

Nama atau apa, kek. Pekerjaan atau hobi. Semuanya sudah pernah Topan bicarakan dan tentu gadis itu menyambutnya dengan senyum penuh pintu surga. Dipikirnya mungkin jika ia menanyakan soal nama gadis itu mungkin kekasihnya akan memahaminya.    

“Kenapa??” Suara lembut bak sutera raja itu keluar dari bibir Gadis Tanpa Nama, tatapannya berhadapan dengan Topan yang juga sedang menatapnya. Lama. Kali ini mereka sedang duduk di tempat duduk salah satu abang tukang jualan es siwalan, malam yang indah di Alun-alun Tuban.

“Eumm…kita, kan, udah lama pacaran, ya?”

“Iya?? Terus?”

“Selama ini aku belum pernah tahu nama kamu.” Gadis itu menatapnya dengan ekspresi yang memang dari awal tidak berubah. Senyumnya tetap sama, tatapan itu juga masih fokus kepada Topan. Seperti memang urusan tentang namanya itu tidak begitu penting, macam menambahkan segenggam garam ke lautan.

“Siapa namamu?”

“Apa perlu aku menyebut namaku?”

“Aku telah mengenal wajahmu, kini yang aku butuhkan hanyalah namamu. Siapa namamu?”

“Apa arti sebuah nama, Topan?” Tanya Gadis Tanpa Nama dengan lembut. Entah sihir dari mana, Topan selalu merasa sedang meleleh setiap kali Gadis Tanpa Nama menggunakan nada bicara seolah sedang merayunya.

“Apa arti sebuah nama?” Ulang Topan sembari mengerutkan sebelah keningnya, alisnya terangkat satu, “bukannya nama adalah bagian dari identitas?”

“Betul sekali.”

“Lalu…kenapa kamu bilang arti sebuah nama?! Kamu telah mengenal namaku, tapi aku tidak tahu namamu.”

“Jika nanti kamu ingin mengetahuinya, itu berarti kamu ingin hatimu terluka.”

Topan menggeleng pelan, tatapannya tidak pernah terlepas dari kedua mata lentik milik Gadis Tanpa Nama, “Aku benar-benar tidak mengerti!” Topan menyerah.

“Sebelum pacaran sama aku, kamu punya pacar namanya siapa aja?” Seperti orang tersengat sihir, Topan pun spontan memutar matanya ke atas, hendak mengingat-ingat nama gadis yang pernah dikenalnya. Begitu mudahnya Gadis itu mengalihkan sesaat rasa ingintahunya yang menggebu-gebu, seperti lari jarak jauh yang sedang salah jalur.

“Eungg…Nita, Erika, Hasna, Sindy, Yanti, Raihana, Suhita, Alina, Agustina, Afiya, Fida, Fiya, Sri, Dewi…” dan Topan menghentikan perputaran memorinya, lekas menunjuk ke arah Gadis itu, “lalu yang terakhir adalah kamu.”

Gadis itu tetap tersenyum, “Dan dimana semua perempuan yang kamu kenal itu! Di mana mereka yang telah mengenalimu juga kamu mengenali mereka! Kemana perginya mereka!” Gadis itu bertanya tanpa tanda tanya, tatapan Topan tak terlepas menatap kekasihnya dengan kedua mata membulat.

Sejenak ia merasa sedang dibenturkan oleh kesadaran, Gadis Tanpa Nama telah menyadarkannya arti sebuah kebodohan yang dipelihara manusia.

“Kamu boleh mencintai pacar kamu, dan mengenalinya secara batin dan perasaan yang disatukan oleh tali tak kasat mata yang bisa kamu sebut dengan istilah jadian. Tapi jika nantinya ada perpisahan sementara kamu masih mengenalinya? Bahkan namanya pun masih kamu ingat.”

Topan terpanah. Menganga seakan lupa daratan, Gadis Tanpa Nama yang jadi kekasihnya itu telah mengucapkan kata-kata terindah hari ini. Bukan, tapi malam ini. Baginya kota Tuban akan menjadi tempat terindah untuk mengkaji ulang arti cinta.

“Sesuatu yang kamu anggap hal yang terindah akan menjadi usang pada waktunya.”

“Ta…tapi kenapa?? Kupikir aku sudah menemukan perempuan yang cocok denganku!!” Kali ini Topan lebih terdengar sedang mencurahkan kelu kesahnya pada seorang psikiater. Dan psikiater itu adalah kekasihnya sendiri.

“Dunia ini memiliki dua sisi, Topan. Gelap dan terang, seperti bumi dan langit, teratur dan ketidakteraturan, pasti dan tak pasti. Benar dan salah, menang dan kalah, kenal dan tak kenal.”

“…”

“Jika tidak ada langit, untuk apa ada bumi? Orang yang menang pun pasti ada yang kalah. Kalau menang semua? Kalah semua? Memangnya untuk apa diadakan sebuah sayembara?!”

“Kamu adalah pacar terindah yang pernah aku miliki!”

“Dan jika suatu saat nanti aku meninggalkanmu, kamu tak perlu menghapus namaku. Cukup lupakan saja wajahku.”

“Aku kan, belum mau kita putus!” Topan terdengar putus asa. Gadis Tanpa Nama mengerling ke arahnya.

“Asal perasaan kita menyatu, nama pun tidak akan ada gunanya, Topan.”  Semilir angin menerpa rambut topan, menepuk jidatnya, kembali menyadarkannya untuk kedua kali. Mulai hari ini, Topan tidak akan lagi menginginkan nama itu.

Suasana malam di Alun-alun Tuban kali ini seperti biasanya, tentram tanpa adanya kekacauan yang tak terduga, dari kejauhan telinga Topan menangkap suara riuh dari kejauhan, lantas perlahan mendekat, dan suara sebuah benda seperti cacing dengan ekornya yang berasap abu-abu mulai menghiasi langit malam di atas Alun-alun Tuban. suaranya seperti pesawat yang tiba-tiba mendarat, mulai mengenai jalanan alun-alun.

Suara ledakan memekakkan telah mengejutkan orang-orang yang ada di sana, dan bentuk cacing dengan asap itu yang ternyata lebih mirip dengan sebuah rudal milik pasukan Putin, telah lebih dulu menghancurkan salah satu gedung Bupati yang ada di sana. Suara sirene dan orang-orang satpol PP juga para polisi mulai berhamburan menghentikan kekacauan yang ada.

Atau mungkin merekalah awal dari segala yang mengaburkan keindahan  Alun-alun Tuban??? Apa yang sedang terjadi???

Suara kacau dan tangis seorang anak mulai berdatangan mengerubungi telinga Topan.  Pandangannya berpusat pada kekacauan itu, mengamati segala arah secara cepat namun yang bergaung dalam benaknya adalah “Ada apa ini?!! Apa yang sedang terjadi dengan Alun-alun Tuban?!”

Baru beberapa saat kemudian, ia teringat akan nasib kekasihnya, abang-abang gerobak es siwalan, nasi goreng, es degan, jualan pentol, telah berhamburan meninggalkan kerusakan karena mata mereka terkena gas air mata yang tiba-tiba jatuh dari atas langit Tuban.

“Pacarku!! Di mana dia?! Apa dia baik-baik saja?! Di mana dia?!” Hati Topan semakin panik, namun mulai sedikit tenang ketika Gadis itu menghampirinya. Dengan sedikit berlari, seolah tadi dia memang baru saja mendatangi suatu tempat kemudian mendekat ke arahnya. Tapi kali ini begitu berbeda.

Gadis itu tidak berpenampilan seperti biasanya sebagaimana Topan mengenalinya, bajunya serba hitam, ada sebuah benda berantena yang ada di genggamannya yang Topan pun tidak tahu apa namanya, Gadis itu bersarung tangan dengan warna yang senada, rambutnya yang terlihat tergerai indah itu kini berubah menjadi rambut Dora. Gadis itu berubah seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik dengan gadis yang Topan kenal sebagai kekasihnya.

Tiba-tiba kekasihnya menerjang tubuh Topan hingga jatuh ke tanah, kali ini wajah cantik itu ada di atas dirinya, Topan tak mengerti apa yang sedang terjadi.

“Ka…kamu…sedang apa??” Namun Topan tersentak dan menghentikan suaranya ketika sesuatu yang tajam dan kecil telah menusuk menembus urat nadinya. Tangan kiri Gadis itu yang melakukannya.

“Tenang, Dek. Sampean akan ditemukan oleh Tenaga Medis yang bakal ke sini setengah jam lagi. Lima puluh tahun masa jabatan Mas Bupati Aditiya Lindra Farizky kerusuhan Tuban kali ini akan menggores sejarahnya sendiri, dan aku telah menemukan orang yang aku incar keberadaannya!! Kini kami akan menangkapnya!! Hahaha, terima kasih sudah mau bermain denganku, Dek.”

Suaranya penuh bisikan seakan hanya Topan yang bisa mendengarnya, namun itu membuat gendang telinganya begitu perih. Begitu banyak hal yang belum ia ketahui tentang Gadis itu sehingga di titik ini telah membuatnya terlihat sangat bodoh.

Gadis itu menyuntikkannya obat bius dosis tinggi agar ia bisa tak sadarkan diri, dia dibuat sedang pura-pura mati agar bisa dipulangkan menjadi korban, dan Topan tidak mengerti kekacauan apa yang telah menyamarkan pandangannya. Langit Tuban kini abu-abu.

Semua yang ia dapatkan kini terbakar bersama gas air mata yang meledak, keindahan Alun-alun Tuban yang memikatnya kini mengikat dirinya di atas aspal jalanan yang dingin, dentuman muncul di mana-mana. Dan ia kehilangan satu hal. Kekasihnya. Gadis Tanpa Nama.

Seumur hidup ia tidak akan mengetahui nama Gadis itu, sampai kapanpun nama Gadis itu tidak akan ada dalam memorinya seperti halnya nama-nama mantan Topan sebelumnya. Gadis itu akan menjadi mantan terindahnya, juga mantan yang paling membuatnya terluka, memeluk jalanan Alun-alun Tuban merupakan upayanya satu-satunya selain bernapas dalam ketidaksadaran raga.

Seperti permintaan gadis itu, Topan akan melupakannya. fotonya akan berjejer bersama mantan-mantannya. Mantan yang telah meninggalkannya memiliki nama namun satu ini tak pernah menyebutkan identitasnya. Hanya soal rasa. Gadis Tanpa Nama.

Oleh : Maulida Sufi Hindun

Advertisement

Cari sesuatu di sini

Close