Breaking News

PAMIT

 

Dalam malam menanti fajar. Ruangan putih ini membuat mata ini tak dapat menatap bagaimana indahnya langit berhiaskan bulan, dan bertaburan bintang. Aku menyebutnya bahwa aku ini berada dalam ruangan kedap malam. Ruangan penuh dengan air conditioner (AC) Tubuh ini saling bersandar, berarah pada arah mata angin yang berbeda. Berlawanan arah mungkin?!

Lautan tak bertepi, mata ini menatap gulungan ombak bergulung membuatku bergeming mengagumi ciptaan Tuhan "Subhanallah!" Aku memuji-Nya. Keeksotisan lautan memukau, mata ini kembali menatap ombak yang bergulung-gulung, meski setiap kali ombak menghantam batu karang ia selalu saja teguh dalam pendirian. Sekeras hantaman ombak, batu karang tetap berdiri tanpa tergoyahkan.

"Alina sayang!" Suara wanita paruh baya berjubah putih bersih memanggil namaku. Aku menoleh ke arah sumber suara, ku menghampirinya.

"Ibu? Ibu ada di sini?" Pikiranku yang masih dilingkari tanda tanya. Sejak kapan ibu berada di sini?!

"Benarkah ini ibu?" Aku mengulangi 'tuk memastikan, diri ini semakin mendekat. Ternyata benar, ia adalah ibuku.

"Duduklah, Sayang!" Perintah ibu agar aku duduk di sampingnya. Kursi panjang berwarna coklat menjadi persinggahan kita di tepi lautan.
Menatapmu, Ibu. Kesejukan yang ku temukan, mata beningmu 'lah membuat senyuman ini terukir. Guratan menuamu sudah tak lagi ada, kini 'lah tergantikan wajahmu bersih dan tak bernoda.

"Alina, bilamana kau diberikan suatu yang tak milikmu, padahal kau 'lah merawat dengan sebaik mungkin, kau mencintainya dan itu satu-satunya di dunia. Bagaimana jika sang pemilik itu datang ingin mengambilnya? Apakah kau rela?" Ibu bertanya.

"Ya, Alina 'kan memberikannya. Kan itu bukan milik Alina. Alina pula hanya diamanahi 'tuk menjaganya," aku menjawab pertanyaan ibu. "Maksud ibu?" Aku tak memahami apa yang ibu maksud. Ibuku terdiam, tak menjawab.

*****

Penantian fajar masih bersama lelapnya....

Mentari yang tak lagi menyinari, dedaunan pohon kelapa mulai menari-nari. Nampaknya waktu senja mulai menghampiri.

"Wahai permata ibu, kau sudah mencoba berbagai cara agar kita tetap bersama," ibu kembali mengangkat bicara.

Ibuku berkata....

Saat ku merasa sulit makan sendiri, kau menyuapi. Waktu diri ini sendiri, kau yang menemani. Ketika air mata ini menderai, tanganmu menyekanya agar tak terurai. Manakala hati ini disakiti, kau berupaya menguatkan hati ini. Inginku mengabdi kepada Sang Ilahi, kau membantuku 'tuk berwudu dan menemani mengabdi-Nya di petang hari. Ku dapati pula dalam malam, kau bersembahyang mengadu pada Tuhan, dalam sujud panjang kau mohonkan ampunan dan kesembuhan untukku, seorang. Dan... Saat diri ini terbaring lemah tak berdaya, kau pula yang berupaya sembari mengadah memohon kepada Sang Pencipta kesembuhan untukku, di dalam ruang sunyi kau tetap juga bersenandung lembut melantunkan sholawat 'tibbil qulub' dari hati ke hati, ku temukan kedamaian, ketenangan, dan kesejukan dalam sanubari.

"Itu tak seberapa besar, tak sebanding dengan perjuanganmu untukku, Ibu," ujarku.
Aku tahu betul bagaimana perjuanganmu untukku, lelah letih tak kau rasakan.

Semilir angin masih saja bertiup. Aku baru memahami apa yang ibu maksudkan. Memahaminya butuh segala kecermatan dalam meniti setiap kalimat, dan kalimat ucapannya.

"Ibu, aku tak ingin kehilanganmu," ucapku setelah mendengar perkataan ibu, air mata ini meleleh. "Engkaulah malaikat yang kusebut Ibu." Tatapku berkunang-kunang.

"Anakku, yang tersisa dari kisah ini, kau hanya takut ku hilang"

"Aku hanya menginginkan kau tetap di sini bersamaku," berucap memohon, ku genggam erat tangan ibu.

"Ibu..." Suaraku merintih.

"Perdebatan apapun pasti menuju kata pisah, Nak," ucap ibu. Tangannya menyeka air mataku yang mulai membasahi pipi. "Jangan paksakan genggamanmu, Wahai anak ibu. Biarlah kita mengikuti alur skenario Tuhan, percayalah! Ada kebahagiaan 'lah Tuhan persiapkan," lanjutnya, tangannya masih saja menyeka air mataku.

 

*****

Senja jingga memanja, menenggelamkan matahari. Waktu itu masih senja....

"Izinkan aku pergi dulu," ucap ibu sambil menurunkan genggaman tangan ini secara perlahan. Genggaman erat pasti ujung-ujungnya terlepas juga.

"Ibu, ku mohon jangan pergi dulu. Aku masih ingin memilikimu," Sergahku, diri ini semakin memohon. Mengharapkan kebersamaan lagi. Akankah dia bersamanya lagi?

"Yang berubah hanya tak lagi ku milikmu," ibu melontarkannya dengan senyuman menghiasi wajah ayunya.

Semua makhluk hidup adalah milik Allah. Dari Allah, untuk Allah, dan  kembali pada Allah. 'Sesungguhnya kita adalah milik Allah, hanya kepada-Nya lah kita kembali'
  

"Suatu hari, kau masih bisa melihatku. Meski dalam bunga malam indahmu," ucap ibu, membelai lembut. Menatapnya tak kutemukan raut wajah gelisah, sedih, ataupun gundah. Senyumannya masih saja tersungging indah bahkan lebih indah.

"Tapi, Ibu..." Rintihan ini semakin merintik-rintik.

"Kau harus percaya, Sayang. Bahwa ku tetap menjadi teman baikmu," kata ibu. Kedua tangannya mendongakkan dengan lembut. Tatapannya penuh kesejukan, ketenteraman. Menyimpan makna tersirat 'kan ada kebahagiaan yang 'lah ia nanti-nantikan. Ibu berharap aku bisa memahami, dan mengikhlaskannya. Akan tetapi, itu terlalu sulit bagiku, air mata ini masih saja enggan berhenti, membasahi kelopak mata tak dapat ku bendung lagi.

Teman baik, tak akan mengingkari janjinya, dia selalu menepatinya. Bilamana raga ini terpisahkan, hati diantaranya tetap menyatu.  Bagaimanapun juga ia tetap bersama, dalam hati. Dan Aku percaya itu!

Gulungan ombak menghempas batu karang, di atas bumi ini kita berpijak. Di bawah langit senja, tiupan angin yang meruak, semua bersua menjadi saksi bisu kita.

Angin menerpa wajahku, terasa sejuk setelah air mata ini menjadikannya basah. Tatapan mata mulai beradu pandang dalam-dalam. Sama-sama tak ingin merasa kehilangan dan terpisahkan. Namun, bagaimana kita bisa mengelak? Ini pula sudah takdir Tuhan yang 'lah Ia gariskan?!

Terlihat cahaya putih berkilau mulai turun di tepian lautan, terbuka pintu besar, megah, penuh dengan keindahan. Siapapun yang melihatnya pasti ia terkagum-kagum! Kemudian, dari pintu itu turunlah sepasang merpati putih bersih, yang nampaknya mereka ingin menjemput seseorang?!

"Wahai Alina, ada hal yang harus kau ketahui,"

"Apa itu, Ibu?" Tanyaku terheran.

"Dalam hidup, kau harus bersabar. Jagalah ayah dan kakak! Lindungilah mereka!" Pesan terakhir ibu.

"Dengan kehendak Tuhan" jawabku mengangguk dengan tersenyum.

Ketika kecupan terakhir, menandakan salam perpisahan, hati ini dirundung kesedihan dan kepiluan. Ku cium tangannya untuk terakhir kalinya. Ku genggam erat tangannya, namun genggaman ini perlahan-lahan mulai merenggang, dan akhirnya.... Terlepas.

"Ibu!" Panggilku. Sang ibu menoleh sambil menyunggingkan senyuman, bertanda bahwa ia 'kan bahagia di surga bersama-Nya. Kedua merpati putih itu menggiringnya, layaknya Sang ibu sebagai permaisuri.
Perlahan-lahan....
Melangkah menuju pintu itu, memasuki ke dalam suatu tempat yang indah nan sangatlah megah. Belum pernah ku temui di dunia. Dengan perlahan, cahaya menyilaukan mata, ia lenyap dalam sekejap. Kecepatan seperti halnya kilat.

Hal ini mengingatkan aku tentang puisi Rumi:
Dari mana aku datang,
dan apa yang harus kulakukan?
Aku tak tahu.
Jiwaku berasal dari suatu tempat di sana, dan kuingin berakhir di sana juga.

Begitulah cuplikan isi puisi Rumi.


*****

Pandangan menghitam dalam terpejam, ku dapati diriku ini rupanya ketiduran bersandarkan beton penyanggah gedung tinggi rumah sakit ini. Tetap dalam ruang serba putih, ibuku terbaring lemah. Alat bantuan oksigen masih menutup hidung dan mulut ibu, selang makanan pula sebagai penyuplai makanan tetep saja terselubung dalam hidungnya. Berbagai infus masuk dalam tubuh ibu, baik melalui tangan kanan-kiri maupun kaki kanan-kiri. Sungguh tak tega aku melihatnya.
Aku bergegas mengambil air wudhu, ku ambil kitab kumpulan wirid yang aku dapatkan dari pesantren. Ku baca wirid-wirid yang pernah diajarkan di pesantren, berlanjut ku membaca surat Yasin, ku khususkan untuknya, Ibu.

"Ibu, bertahanlah!" Lirihku di sampingnya.

10.30 WIB

Ruangan ini semakin ramai, keluargaku membacakan surat Yasin pula untuk ibu.

"Kak,..." Suaraku lirih, bibir ini keluar tak mampu.

"Tangan ibu dingin. Kuku jari-jari tangan semakin terlihat pucat," batinku. Tangan ini semakin erat menggenggam tangannya.

"TIDAK! Itu tak mungkin," Aku membuang pikiran negatif jauh-jauh. Tak mungkin bagiku bila ibu pergi, aku percaya pasti ada keajaiban Tuhan yang menghendakinya.

"Ibu pasti sembuh!" Positive thinking ku.

"Allah.... Allah..." Perlahan ayah dan kakakku menalkin.

Bilamana ia pergi, aku tak sanggup menerimanya. Diri ini tak mampu lagi. Tak siap aku kehilanganmu, Ibu.
Pukul 11.50 WIB

Nafas ibu mulai tersengal-sengal. Wajahnya terlihat lebih pucat, nafasnya pula mulai mendangkal.

"A...lla..hh" ibu bersuara lirih. Perlahan, malaikat Izrail mencabut ruhnya. Dengan perlahan....

Jarum jam semakin mendetik, jantungnya semakin tak berdetak. Apakah Tuhan mulai berkehendak?

"Panggilkan dokter!" Perintah kakakku dengan sergap. Siapapun orangnya langsung bergerak cepat, bergegas menemui dokter. Dengan sergap, dokter dan perawat datang membawa alat perekam jantung, yang biasa disebut dengan elektrokardiograf (EKG). Alat itulah digunakan untuk mengevaluasi fungsi jantung dengan cara merekam atau mengukur aktivitas jantung sebagaimana jantung itu berkontraksi.

"Bagaimana, Dok?" Tanyaku dengan cemas. Dokter itu hanya menggeleng, setelah melihat hasil perekaman jantung ibu.

"Maksudnya apa, Dok?"

"Maaf, Dik. Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya"

"TIDAK! TIDAK! Itu tak mungkin!" Ujarku memberontak, tak ingin menerima kenyataan pahit ini. "Ibu!" Jeritku meruah, Tangisku pecah. Ku peluk jasad ibu yang terbujur kaku.

"Sudahlah, jangan kau menangisi kepergian ibu. Kau mencintainya bukan? Tapi jangan kau seperti ini. Doakanlah dia, biar ia tenang di sana," ujar kakak memelukku erat, agar aku kuat.
"Karena pada dasarnya, semua yang datang 'kan pergi pada waktunya," ucapan kakak membuat diri ini percaya. Semuanya dari Allah, dan menuju pula kepada Allah. Karena Dialah Sang Maha Menciptakan dan, kebali kepada-Nya.

Ucapannya kembali menggugah jiwa ini, aku tersadar. Bilamana aku jatuh, aku tak boleh rapuh. Bagaimanapun juga, aku harus bersimpuh sembari tangan ini mengadah memohon kepada Sang Maha Segala-galanya. Teringat kata ibu "Kau harus sabar!"
Apakah di malam itu adalah salam pamitmu?! Pertemuan untuk terakhir kalinya, dan berujung pada berpamitan 'tuk menemui surga Tuhan yang kau rindukan.

Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa'aafihaa wa'fu 'anhaa......

Ruang sunyi, 5 April 2019

Ini merupakan tulisan lamaku, yang aku tulis hanya dalam waktu satu malam, tepat di malam itu aku benar-benar merindukan malaikat tak bersayap, yang kusebut ibu….

Selamat Hari Ibu. Harimu aku rayakan hari ini dan setiap hari, tiada henti….

 

By: Putri kecil ibu, Layyeena Alin
   


Cari sesuatu di sini

Close