Breaking News

Mahabbah Rabbaniyah

      Tidak bisa kupungkuri perihal rindu yang selalu mendetak setiap detiknya. Tentang senyumnya yang kian merekah dalam benakku. Teduh matanya yang nampak khusyu' menyelami barisan huruf Arab di kitab ihya' Ulumuddin karya Imam al- Ghozali Atau bahkan tundukan wajahnya yang begitu hebat menyita perhatianku pada tatap pertama. Mungkin saja, aku sudah melebur bersama raganya. Sudah menyelami setiap tanduknya yang memesona itu dalam diam hening ku. 
Tetapi aku tersadar akan satu hal. Kulihat diriku baik-baik. Kutatap mataku yang nampak biasa didepan cermin sana. Wajahku yang tak seindah mereka, teman-temanku di pesantren. Aku tak ubahnya gadis biasa pada umumnya.

Tak ada yang istimewa dalam setiap hal yang kupunya. Lalu, apa yang mampu kuunggulkan untuk membuat lelaki itu menoleh padaku? Meski sejenak? Apa yang mampu k perlihatkan untuk membuat lelaki itu akan memilihku, diantara teman-temanku yang mungkin sama jatuh cintanya kepadanya sepertiku? Aku cukup mengerti diriku. Aku cukup sadar akan kuasaku hendak mencintai lelaki seindah itu. Aku meraba diriku yang masih kurang segalanya, dan aku memang tidak mukafaah dengannya dan syukurlah, aku tidak pernah berharap apapun setelah pertemuan kami di auditorium pagi itu. Saat dia nampak tertunduk malu, dihadapan santri putri yang menatapnya gladi bersih persiapan lomba. Saat dia masih terlihat berwibawa, meski ku tahu, separuh hatinya pasti diliputi gelisah tiada tara.

Aku diam-diam menatap matanya yang sendu dan sayu. Menandakan bahwa pria itu benar-benar mati-matian menggunakan malamnya untuk mudarosah dan mutholaah. Hanya saja, yang masih kusimpan baik-baik dalam benakku, adalah wajah teduhnya. Kusimpan pula suara beratnya saat membaca susunan kitab itu dan serentetan pertanyaan dari para ustadz yang mengujinya. Selanjutnya, kuselipkan doa pada Tuhan kami berdua, bukan untuk memintanya menjadi jodohku. Melainkan sebuah pinta, agar diriku bisa menjadi pribadi sepintar dia dengan rasa tawadhu'nya.

"Sampean tau 'ain siapa namanya?" 

Rahma berbisik disampingku, suaranya pelan namun terasa jelas masuk ke telingaku. Matanya melirikku yang tampak fokus, dengan sedikit kedipan. Aku menggeleng, menjawab pertanyaannya saat itu dengan seulas senyuman.

"Muhammad syarofuddin zakariyya"

Aku hanya termenung, saat nama itu terlintas dalam indera pendengar ku. Meski ada bahagia yang membuncah, tapi aku tak kuasa merealisasikannya lewat senyumannya aku tak ingin orang lain tau perihal kekagumanku ini. 

Dan tentunya, Agar biar aku saja yang bisa merasakan indahnya mengagumi lelaki itu dengan cara sederhanaku, ku simpan nama itu setelah Rahma membisikkannya, kutulis dalam sebuah notebook yang biasa ku bawa kemana-mana, sambil menulis tanggal dihari itu juga. Kuselipkan emotikon hati yang bersanding dengan namanya serta ucapan semangat membacanya sekali lagi, aku merasa amat malu.

Bisa-bisanya mengaguminya semudah itu?

Ah!

Aku hanya tak ingin lupa sebaris nama indah itu. Aku juga tak ingin lupa untuk menyebutnya dalam doa sederhanaku,meski terlihat amat mustahil aku bisa bersanding dengannya.

Dia adalah kado paling indah dalam perjalanan tholabul ilmuku. Melihatnya teduh dalam rasa tawadhu'nya, muncul semangat yang tiada habisnya dalam diriku. Aku ingin sepertinya. Pandai membaca kitab, Halus tutur katanya. Indah tatap matanya. Serta rendah hati sikapnya mungkin gusti Allah menciptakan-Nya dengan penuh sifat Rahman nya, aku kembali mengingat senyumnya yang begitu manis. Menekan dadaku yang kembali berdebar-debar saat kilasan memori itu muncul.

Teruntuk, Muhammad Syarofuddin zakariyya

Kenapa gusti Allah menjadikanmu mauhabah Rabbaniyah dalam hidupku?

***

       Kukira perasaan itu hadir hanya sebagai perwujudan rasa kagum ku yang terlalu saja. Yang setelah beberapa bulan tak pernah bertatap muka langsung, akan pudar begitu saja, kukira perasaan kagum ku terhadapnya akan mengendap seiring berjalannya waktu, serta hari-hari sulit ku dengan setumpuk hafalan. Nyatanya tidak. Wajahnya justru telah mengakar kuat pada benakku. Menghebat kian harinya. Mendesir tanpa bisa ku cegah debarnya. Namun ketidak pergiannya dalam memori ku, justru mampu menjadi obat segala keluh-kesahku. Ketika aku menangis sesenggukan sambil mendekap alfiyahku, kulihat senyumnya melintas meredam tangisku. Ketika aku pilu menahan sesak karena hafalan yang tak kunjung lancar, kuingat suara tenangnya memangkas sedihku. Aku terlalu sering menangis untuk hal sepele sebelumnya, tetapi setelah hadirnya, aku merasakan bahwa sedih bahagianya seorang hamba itu tergantung kita menyikapi kuasa.

Lalu, mana mungkin ia bisa bilang secepat itu dalam ingatanku? Meski sudah hampir di penghujung tahun kelulusannya dan aku sama sekali tidak pernah melihat wajahnya, setelah pertemuan itu? Memang, cerita tentang nya silih berganti kudengar dari teman temanku. Kabar tentang nya juga senantiasa hadir menebas rinduku. Bahkan, aku turut mendengar bahwa lelaki itu sudah memiliki seseorang yang spesial. aku tak tahu apa kabar itu benar atau tidak. Meskipun aku patah, aku hancur mendengarnya, tetap saja tak mudah melupakannya begitu saja. Aku pun tahu menahu siapa wanita itu. Aku juga tak berani bertanya langsung kepada teman-temanku. Padahal mungkin saja dari mereka ada yang tau, bahkan bisa memastikan kabar itu. Yang aku yaqini saat itu, perempuan yang dia istimewa kan, tentu sosok yang juga mukafaah dengannya. Sama-sama pintar, kesayangan guru, dan disegani banyak orang.



Penulis : Livia Wakhidatun Nikmah
Editor   : Lathifatul Aulia 

Advertisement

Cari sesuatu di sini

Close