Breaking News

Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus: Mengungkap Realitas yang Tersembunyi

 



Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan maraknya berita pelecehan seksual. Pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki. Namun, pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat pada umumnya sering terjadi kepada perempuan. 

Hal ini disebabkan menurut pandangan ,perempuan dianggap lebih lemah, membuat mereka rentan menjadi target. Pelecehan seksual bisa termanifestasi dalam berbagai bentuk seperti bahasa, tulisan, gerak tubuh, dan simbol-simbol berbau seksual, menciptakan pengalaman traumatis bagi korban. 

Kejahatan pelecehan dan kekerasan seksual, yang mendapat kecaman luas, tidak hanya terbatas pada wilayah rawan, tetapi juga kerap terjadi di institusi pendidikan, tempat yang seharusnya dihiasi dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan. Kasus pelecehan seksual di lingkungan universitas bahkan mengalami peningkatan belakangan ini. Untuk mengatasi darurat kekerasan seksual di dunia pendidikan, terutama di perguruan tinggi, Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 telah dikeluarkan untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di perguruan tinggi, dan mulai berlaku sejak 3 September 2021.

Permendikbudristek No 30/2021 tidak hanya menetapkan sanksi bagi pelaku pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi, tetapi juga mengatur langkah-langkah pendampingan, pelindungan, dan pemulihan bagi korban. Pelaku pelecehan seksual di perguruan tinggi tidak hanya menghadapi sanksi administratif, tetapi juga risiko pemecatan atau pemberhentian tetap. Selain itu, Pemerintah telah mengesahkan Undang-undang Nomor 12 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Tahun 2022, yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2022, berisi memberikan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual dan menuntut pertanggungjawaban bagi pelaku yang sebelumnya dapat menghindari hukuman. 

Menurut survei yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kemendikbudristek pada tahun 2020, sekitar 77% dari dosen yang disurvei mengakui adanya kejadian kekerasan seksual di kampus mereka. Meskipun demikian, sebanyak 63% dari dosen yang mengakui kejadian tersebut memilih untuk tidak melaporkan kasus tersebut dan hanya menyimpan informasi tersebut. Pada Juli 2023, catatan survei Kemendikbudristek mencatat 65 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Sementara itu, terdapat 22 kasus kekerasan seksual di sekolah menengah dan 28 kasus di sekolah dasar.

Meskipun umumnya dianggap sebagai lingkungan yang bebas dari kejahatan, realitasnya menunjukkan bahwa perguruan tinggi ternyata dapat menjadi zona berbahaya seperti area sosial lainnya. Di satu sisi, mahasiswa memiliki kesempatan untuk belajar dan mengejar ilmu. Namun, di sisi lain, mereka rentan menjadi korban tindakan yang tidak etis dari sebagian oknum dosennya. Faktor seperti penyalahgunaan kekuasaan oleh dosen atau pejabat kampus, yang memiliki otoritas atas kelulusan dan penilaian mahasiswa, dapat memicu risiko terjadinya tindakan yang tidak senonoh jika integritas mereka tidak terjaga.

Maka dari itu, agar tindak pelecehan seksual di lingkungan kampus dapat dicegah dengan beberapa cara, langkah awal yang esensial adalah adanya kejujuran dan kedewasaan dari pejabat dan komunitas kampus untuk mengakui adanya potensi penyalahgunaan posisi superior dosen dalam memenuhi keinginan seksual yang tidak etis. Menutupi kenyataan bahwa pelecehan seksual tidak mungkin terjadi di kampus hanya akan memperburuk masalah ini. Sebaliknya, sikap terbuka dan membuka jalur pengaduan untuk mengantisipasi kemungkinan pelecehan seksual akan lebih efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan tersebut.


Penulis :  Anggie Eka Cahyani

Editor  : Alfia Rahma N.K.

Advertisement

Cari sesuatu di sini

Close