Breaking News

Tante Vidya

 Penulis : Maulida Sufi Hindun


                       Tante Vidya.


Waktu umurku tujuh tahun, aku selalu menerima uang THR dari Tante Vidya. Tidak hanya aku, saudara-saudaraku juga mendapatkan hal yang sama. Setiap amplop mendapatkan isi yang sama rata—katanya—tidak ada yang kurang atau lebih. Dan itu berlangsung semenjak aku masuk TK. Hal yang selalu aku benci waktu mendapatkan uang saku dari Tante Vidya adalah ketika mama menyodorkan telapak tangannya kepadaku sambil berkata, “Sini, biar mama yang simpen uangnya.” Rasanya uangku sedang dirampas. Alih-alih merasa terintimidasi. Karena waktu itu aku masih kelas TK A, dan selalu menuruti perintah mama apalagi yang satu ini, akhirnya aku menyerahkan amplop itu.

Sebelum Tante Vidya tahu apa yang sedang terjadi, secara intens Tante Vidya berkunjung di acara keluarga dan memberikan satu persatu angpao berisi uang kepada para keponakannya. Tidak hanya di acara keluarga, ketika lebaran pun juga sama. Sampai pada akhirnya ada salah satu bibi dari pihak ibu berkata kepada Tante Vidya—di suatu acara keluarga, mungkin ketika aku masih PAUD—mengatakan kepada Tante Vidya untuk sering-sering datang sambil membawakan uang jajan. Alih-alih tidak hanya para keponakannya yang bakal mendapatkan THR, para orang tuanya juga. Mama terkadang melerai saudarinya itu.

“Kamu jangan gitu ke Vidya! Untung-untung dia mau kasih THR! Terserah donk, dia mau datang apa nggak!”

“Lagian kapan dia bakal nggak datang?! Sejak kapan Vidya nggak bakal kumpul bareng keluarga?!” Mamaku sudah ingin menyembur tak mau kalah, waktu itu acara keluarga sedang melakukan sesi makan-makan, waktu terlalu senggang untuk hanya diam, Tante Vidya ikut berbicara di antara mereka.

“Sudah Mbak Gina (Mamaku) Alhamdulillah Vidya selalu dikasih kesehatan biar bisa ikut acara keluarga. Dan alhamdulillah selalu diberi rezeki lancar biar bisa kasih uang jajan lebih.” Tante Vidya mengatakannya tanpa beban apapun, lembut mengalir seperti arus air terjun.

Dan pertikaian itu berakhir, seterusnya setiap lebaran Tante Vidya akan datang berkunjung, ikut berkumpul bersama keluarga besar. Sedikit yang kutahu tentang Tante Vidya, dia adalah adik terakhir ayah. Anak terakhir di antara saudaranya yang seluruhnya merupakan anak laki-laki. Dibandingkan saudara-saudaranya, Tante Vidya-lah satu-satunya anggota keluarga yang belum kunjung menikah.

Saat aku mulai masuk SMP, Tante Vidya masih seperti Tante Vidya yang kukenal pada saat diriku masih masuk TK. Dia tak pernah berubah, mungkin hanya tambah cerah, mungkin hanya wajahnya yang tambah terlihat cantik meskipun tidak ada perubahan dari wajahnya. Keriput atau apa. Sementara ketika aku memandang mama dan saudari-saudarinya terlihat kerutan-kerutan tanda usia menua mulai nampak.

Masih teringat diriku ketika kelas enam SD, waktu itu Tante Vidya tiba-tiba mengajakku berbicara, padahal interaksi kami hanya sekadar memberi-menerima THR, senyumnya yang teduh itu hampir membuat jantungku lari.

“Kamu kelas berapa sekarang?”

“Eumm…kelas enam SD, Tante.” Jawabku sedikit tersipu-sipu. Kurasa Tante Vidya setiap tahun semakin cantik. Meski kurasa tidak ada perubahan dari raut wajahnya.

“Wah, udah mau SMP, ya. Mau sekolah di mana?”

“Di deket-deket rumah aja, Tante. Biar tetep bisa bantu-bantu mama.” Kulihat ia sumringah, sembari menunjukkan jempolnya kepadaku.

“Wah, bagus, tuh. Belajar tanggung jawab.”

“TapiTante. Memangnya nggak, pa-pa, kan, aku sekolahnya nggak jauh-jauh dari rumah?”

“Nggak pa-pa, donk. Lagian sekolah di manapun tetep sama aja.”

“Sama aja gimana, Tante??”

“Tinggal kamu mau belajar sungguh-sungguh apa nggak. Tante liat kamu anaknya tekun belajar, tuh, semangat  belajarnya, ya.” Kupikir waktu itu Tante Vidya hanya basa-basi. Setelah beberapa saat kemudian, Tante Vidya mulai bertanya tentang di mana selama ini uang yang ia kasih dari aku selama ini. Aku sedikit terperanjat. Kukira Tante Vidya akan marah jika seandainya aku tidak bisa menggunakan atau menyimpan uang pemberian darinya dengan baik. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana nasib THR-ku

“Uangnya buat kamu beli jajan, kan?”

“Eee…sebenarnya, Tante. Uang dari sejak TK itu di bawah mama.” Jelasku sembari berbisik ke telinga Tante Vidya. Tentu saja dengan telapak tangan menutupi bibir, takut nanti salah satu anggota keluargaku. Termasuk mama. Ekspresi Tante Vidya tampak terkejut, namun rasa keterkejutannya itu bukan hal serius.

Sejenak Tante Vidya merogoh sesuatu dari tas tangannya, tas kulit yang terlihat bagus di mataku, aku tidak tahu tentang selera tas bagus milik wanita, kata bibi tas tangan itu bermerek ternama. Harganya berjuta kali lipat lebih mahal dibandingkan harga jual gedung sekolahku.

Tante Vidya pun menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat muda kepadaku, amplop panjang yang bisa dikatakan sebagai amplop THR versi besar. Aku menerimanya dengan ekspresi melongo.

“Apa ini, Tante??”

“Sssst! Jangan kasih tahu’ mama kamu! Ini uang jajan buat kamu! Uangnya disimpan dengan baik, ya.”

“…”

“Karena kamu udah gede’. Udah mau lulus SD, sepertinya banyak kebutuhan yang perlu kamu perhatikan, jadi ini THR buat kamu. Oke?” Tante Vidya mengucapkannya dengan sedikit berbisik, dan sesaat mengerlingkan sebelah matanya. Berharap aku bisa menjaga apa yang Tante Vidya sampaikan kepadaku. Meski aku tak bermaksud akan mendapatkan berapa lembar uang THR dari Tante Vidya, tapi aku merasakan isi amplop cokelat muda itu begitu tebal. Berapa uang yang aku dapat dari Tante?!

“Tante…bukankah ini terlalu banyak??” Ujarku risau. Bukan berarti aku menolak pemberiannya—apalagi aku sebagai anak laki-laki yang tidak selalu memikirkan kebutuhan pribadinya—demi apapun uang di dalam amplop itu lebih banyak dari yang aku pikirkan.

“Tante, kan, udah bilang, karena kamu udah mau SMP, jadi uang itu buat keperluan kamu sendiri. Pribadi! Nggak usah dikasih ke mama kamu, adik kamu, mereka udah tante siapin uang jajannya. Kalau ini emang khusus buat kamu, oke? Buat beli buku sekolah, kek, beli komik wanpis, kek. Terserah. Pokoknya itu uangnya buat jajan kamu.”

Aku tak bisa berpikir apa-apa, bahkan untuk mengucapkan terima kasih pun rasanya kurang cukup. Betapa bodohnya aku yang hanya menatap Tante Vidya dengan ekspresi melongo. Lebaran di tahun ini benar-benar membuatku ingin menyayangi Tante Vidya sebagai kakakku. Karena kupikir ini adalah rahasiaku dengan Tante Vidya, semenjak itu aku tidak memberitahukan mama soal uang THR beramplop cokelat itu. Uang itu berjumlah tiga puluhlima juta empat ratus lima puluh ribu.

Jika memang ditanya oleh mama dapat uang berapa dari Tante Vidya, mungkin aku hanya menjawab seadanya. Barang kali aku menjawab limapuluh ribu seperti apa yang ramai digunakan orang-orang. Lima puluh, limapuluh.

Setiap tahun setiap lebaran akan menjadi sebuah rutinitas bahwasanya Tante Vidya akan datang. Pulang kampung dari tempat kerjanya. Hingga tersinkronkan dalam ingatanku, setiap momen itu Tante Vidya akan ikut hadir bergabung bersama keluarga besar. Alih-alih Tante Vidya tak benar-benar tidak berubah.

Keluarga yang semakin menua termakan masa, sedangkan Tante Vidya masih tetap seperti sosok perempuan yang berasal dari enam tahun yang lalu. Seolah dia memang berasal dari masa laluku, mengunjungi diriku yang beranjak dewasa.

Seperti apa yang telah kami janjikan bersama, uang yang aku dapatkan dari pemberian Tante Vidya itu aku manfaatkan dengan (se)baik mungkin. Membeli buku ataupun beberapa kebutuhan berdasarkan primer. Uang tiga juta lebih itu terlalu banyak untukku. Kendati demikian, aku tetap berusaha memanfaatkannya dengan baik.

Waktu demi waktu, masa perlahan mengantarkanku menjadi anak laki-laki yang beranjak dewasa, masa SMA telah aku lalui dengan mudah, saat lebaran di tahun pertamaku masuk SMA, Tante Vidya sudah tidak lagi menemui keluarga besar kami. Ikut reoni keluarga pun kadang hanya mengirimkan sejenis jajanan hampers. Hingga ketika aku masuk kuliah, Tante Vidya sudah tak lagi mengunjungi kami. Dalam pikiranku—tidak ada anggota keluargaku yang menanyakan keadaan Tante Vidya—mungkin dia sedang berada dalam pekerjaannya sehingga tak sempat memutuskan untuk mudik.

Dan itu berlangsung sampai sepuluh tahun, sampai tak kusadari aku sudah memiliki pekerjaan yang—bisa kukatakan—layak. Bisa memberikan uang untuk kebutuhan pokok mama dan saudara-saudaraku. Masa mulai menghadang, abangku sudah menikah dengan orang Riau dan memutuskan untuk tinggal bersama isterinya dan akan pulang dua tahun sekali, adik-adikku mulai masuk SMA, dan aku juga mulai memberikan uang jajan ketika mereka meminta angpao THR saat lebaran.

Rasanya aku sedang menggantikan posisi Tante Vidya saja. Tak terasa tahun demi tahun berlalu aku nyaris melupakan perempuan itu, saudara ayah paling muda. Kini aku berpikir untuk mengunjungi Tante Vidya.di tempat dirinya bekerja. Akan tetapi lima tahun, sepuluh tahun, tiga puluh tahun hingga empat puluh tahun diriku hidup di dunia, aku sudah tak lagi bertemu dengan dirinya. Tahun demi tahun berlalu begitu saja, kabar Tante Vidya tidak ada yang mengetahui. Mungkin karena dari awal keluarga besar tidak ada yang menanyakan apapun kepada Tante Vidya, karena mereka pikir kami akan bertemu dengan Tante Vidya lagi.

Mama sudah tidak bisa menggerakkan badannya lagi, ayah juga sudah lebih dulu meninggal empat tahun sebelumnya, suadara-saudaraku sudah memiliki anak yang beranjak remaja. Semuanya telah mengalami masa tua seperti makhluk hidup pada umumnya. Diriku juga sudah menikah, dan memiliki anak yang sudah berumur tujuh belas tahun dan mungkin aku akan memberikan THR tambahan untuk anakku sendiri.

Dan saat mama mulai menghembuskan napas terakhirnya, para anggota keluarga baik dari pihak ayah maupun pihak mama mulai berkumpul kembali. Turut berduka cita atas tutup usianya mama kami, hingga pada saat yang tak terduga, Tante Vidya muncul kembali. Keberadaan dirinya tak disangka-sangka. Benar-benar mengejutkanku.

Postur tubuhnya yang seharusnya berumur empat puluh sembilan tahun kurang lebih itu masih menunjukkan usianya yang ke dua puluh delapan tahun. Waktu itu, ketika ia memberikanku THR dengan jumlah yang tak sedikit.

Saudaraku terkejut atas kehadirannya, tentu saja anak-anakku dan keponakanku tidak ada yang mengenalinya. Karena Tante Vidya hanya muncul di masa kami saja. Seperti biasa ia memasuki halaman depan rumah, menyalami isteriku dan beberapa kerabat yang juga mungkin tidak akan kenal dengan wanita cantik itu. Mereka pikir Tante Vidya berusia jauh lebih muda dibandingkan mereka

Ketika Tante Vidya berjumpa dengan anak-anak saudaraku, ia pun serta merta menyapa mereka, dan memberikan sekotak bola-bola cokelat sembari mengatakan, “Dimakan bareng-bareng, ya. Jangan rebutan.”

Lalu pandangan kami bertemu. Tante Vidya tersenyum ke arahku.

“Aku turut berduka cita atas meninggalnya Mbak Gina.” Ujarnya, dengan suara sedikit pelan. Memastikan agar hanya aku yang mendengar suaranya.

“Sudah berapa tahun, Tante. Wajahmu tak pernah berubah.” Aku memasang ekspresi serius. Tante Vidya menyunggingkan senyum tipis.”

“Aku tetap Tante yang kau kenal. Tante yang akan memberikanmu uang THR".


Advertisement

Cari sesuatu di sini

Close