Polarisasi politik merupakan fenomena yang semakin marak dalam masyarakat modern, khususnya di era digital saat ini. Hal ini terjadi ketika perbedaan pandangan politik semakin tajam, memisahkan kelompok masyarakat ke dalam dua kubu yang saling bertentangan. Polarisasi ini dapat mempengaruhi pola pikir individu, yang cenderung terjebak dalam sudut pandang yang sempit dan kaku. Alih-alih terbuka untuk diskusi atau mencari titik temu, masing-masing pihak lebih sering menganggap pandangan lawan sebagai ancaman atau kebohongan, tanpa ada ruang untuk dialog yang konstruktif.
Pola pikir yang terpengaruh oleh polarisasi politik sering kali ditandai dengan "kami vs mereka", yang mengarah pada stereotip dan generalisasi negatif terhadap pihak yang berbeda pandangan. Hal ini bisa mengarah pada penurunan empati, radikalisasi pemikiran, bahkan konflik sosial. Polarisasi semacam ini juga dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik yang memperburuk ketegangan dengan memanfaatkan ketidaksetujuan sebagai alat untuk meraih keuntungan.
Pada sisi positif, polarisasi dapat mendorong debat yang lebih hidup dan menciptakan kesadaran akan beragamnya perspektif. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, polarisasi ini bisa memperlemah kohesi sosial dan demokrasi itu sendiri. Pola pikir yang sehat dalam menghadapi polarisasi politik seharusnya mencakup kemampuan untuk mendengarkan, menghargai perbedaan, dan mencari solusi yang win-win daripada terjebak dalam konflik yang berlarut-larut.
Untuk mengatasi dampak buruk dari polarisasi ini, pendidikan yang mengajarkan keterampilan berpikir kritis, empati, serta pentingnya toleransi menjadi sangat penting. Hanya dengan pendekatan yang lebih inklusif dan terbuka, kita dapat mengurangi dampak negatif polarisasi politik terhadap pola pikir masyarakat.
Penulis : Abdul Rahmat Albustomi ( Mahasiswa Prodi Manajemen Dakwah Semester 3)
Social Footer