Hari Eksekusi
Karya: Maulida Sufi Hindun
Seorang
laki-laki muda dengan kedua tangan yang terikat ke belakang dan memakai kimono
serba putih itu mulai digiring oleh beberapa prajurit menuju ke pelataran istana.
Kepalanya ditutupi oleh karung goni berukuran sebesar kepala manusia, seakan
karung itu memang sudah disediakan untuk memenggal kepalanya ketika eksekusi
dimulai.
Pukul setengah delapan pagi, orang-orang dengan jabatan tertinggi mulai
memenuhi kursi-kursi mereka yang telah tersedia. Menghadap tepat ke pelataran
istana. Di sana terdapat sebuah kursi kayu yang agak reyot, dengan dua tombak
tajam yang bertengger di sebelahnya. Udara panas pagi ini menghadirkan sengatan
matahari yang intens sehingga suasana hari eksekusi kali ini hampir sama dengan
suasana hati para pejabat.
Dari kepala dapur, ibu negara, para permaisuri raja dari berbagai
keluarga berdarah biru, dan pangeran dari keluarga besar ayah telah memasuki lokasi
eksekusi hari ini dengan penampilan mereka yang mirip orang-orang merayakan
parade.
Seorang
pelaku pencabulan terhadap puteri raja telah jatuh kepada seorang penjaga
kebun. Anak muda yang terbuang dari Dinasti Goryo, lalu ayah membawanya pulang
untuk ikut tinggal di dalam istana.
Lima tahun yang lalu aku bertemu dengannya.
Tadinya kupikir anak itu akan diangkatnya menjadi anak terakhir. Ya,
bila dibandingkan dengan diriku sebagai anak permaisuri yang ke delapan belas,
lebih cocok harusnya dia menjadi kakak tiriku.
“Sepertinya kalian seumuran. Tapi kalau dipikir-pikir usia dia lebih tua
darimu. Ia lahir di tahun keempat sebelum dirimu.” Ujar ayah di masa lalu,
sembari menepuk pundak anak itu.
Anak
muda itu terlahir dengan kulitnya yang bercahaya, putih halus, tampak bening, ditambah
dengan rambutnya yang begitu pendek nyaris menjadi botak. Rambutnya begitu pirang
platina seperti emas yang dilumas. Bulu matanya lentik, hampir dikata cantik,
wajahnya yang terlihat manis membuat dirinya tampak tersipu-sipu jika dia
kebanyakan minum sake pada saat pesta kerajaan berlangsung.
Dan
jauh dari perkiraanku anak itu diangkat menjadi pembersih kebun istana, setiap
dini hari ia akan datang menuju ruang tengah istana timur, tentu saja dengan
kimono agak lusuh dan sapu di tangannya, ia membersihkan dedaunan yang
berserakan di bawah kakinya yang telanjang.
Aku mengingat betul sosok itu. Ia mengaku memiliki nama sebagai Kim Jun
Ki namun ayah memanggilnya dengan nama Ashigaka Takerou. Tunggu dulu‼
seharusnya ia menjadi saudaraku jika ayah benar-benar mengangkatnya sebagai
anaknya.
Namun bibirnya tak pernah mengucap sebuah fakta, ia hanya berkata, “Kau
boleh menganggapnya sebagai kakakmu. Begitu juga dia bila menganggapmu sebagai
adiknya. Aku tidak akan melarangnya, namun statusnya di sini adalah hanya
seorang pembantu istana. Dia akan mengabdi pada keluarga Ashigaka!”
Dan
jika memang apa yang dikatakan ayah itu benar, mengapa ia harus mengikat nama
anak itu dengan marganya?! Marga darah bangsawan yang paling dihormati di
seluruh Negeri Sakura.
Aku
sempat bertabrakan mata dengan anak itu, pandangan kami bertemu. Tidak ada
pertanyaan atau kata-kata yang mengantarkan kami pada sebuah interaksi. Hanya
diam. Tak ada suara.
Keheningan yang bersabda. Ketika aku berada di lorong yang sama dengan
dirinya, begitu banyak perbedaan di antara kami. Diriku memakai kimono berlapis
satin, sementara ia mengenakan kimono yang sudah agak usang. Dua orang dengan
latar belakang berbeda telah berpapasan.
Sempat kami gugup ingin memulai pembicaraan,
namun waktu telah mendesaknya untuk bekerja. Waktu itu seorang kepala dapur
memanggilnya dari kejauhan, memerintahkannya untuk mengantarkan hidangan pada
tamu dari kota Kyoto.
Akhirnya dengan langkah tergesa-gesa, sembari
tetap memandang ke arahku, ia pun akhirnya berlalu. Tampaknya ia terlalu muda
untuk dikatakan lebih tua empat tahun dariku. Tingkahnya mencerminkan seorang
adik. Bisakah Dewa mengizinkanku mengangkatnya sebagai adikku?
Setelah
ayah memperkenalkan anak pungutnya kepada keluarga besar, aku sudah tidak
pernah lagi berjumpa dengannya, walau kami berada dalam satu istana. Kami sama
sekali tidak pernah bertatap muka, saudari-saudariku pergi belajar di perguruan
tinggi sementara aku masih dalam tahap belajar beladiri dan teknik berpedang.
Ayah hendak meletakkan posisiku sebagai jenderal bertempur dua tahun kedepan.
“Ashigaka Takerou. Akan melaksanakan eksekusinya pada pukul setengah
sembilan waktu asia tenggara di hari Senin tanggal 19 bulan sabit merah tahun
ketigabelas Hatsugai!” Suara lantang dari para panita pelaksanaan eksekusi
telah menyadarkan kedua kakiku untuk menginjak ke tanah. Hingga rasanya aku
baru ingat kalau hari ini adalah hari eksekusi.
Tatapanku kini berfokus pada orang berkimono putih itu, prajurit yang
ada di sisinya mulai melepas karung goni yang menutupi kepalanya, dan
terlihatlah wajah itu.
Wajah yang cantik dan tenang itu seakan tahu kapankah ajal kan
menjemputnya. Mungkin hari ini. Rambutnya sedikit berminyak, hingga
terlihat begitu legam, sinar matahari yang membakar membuat kulitnya sedikit
menimbulkan bercak-bercak merah dan keringat.
Secara berkala mereka pun melepas kedua tangannya yang terikat ke
belakang, dan mempersilahkannya duduk di atas kursi kayu yang hampir hancur itu.
Kemudian
setelah ia duduk di sana, kedua tangannya kembali diikat ke belakang kursi.
Seolah yang lebih disayangkan dari tubuhnya adalah bagian depan.
Aku tidak mengerti. Mau diapakan anak itu?! Maksudku, jika ayah
mengangkatnya sebagai anaknya, mungkin aku sudah lama memanggilnya “oniki”
Mau diapakan kakakku?! Mungkin seperti itulah
kiranya.
“Diam di tempat dudukmu, Ashigaka Rurou!” Seperti telah membaca
pikiranku, ayah tiba-tiba berbisik tanpa memandang ke arahku. Kata-kata yang ia
ucapkan begitu penuh penekanan seperti memang kini aku sedang dilarang. Ya,
dilarang bertindak semena-mena padahal aku hanya berdiri. Bangkit dari dudukku
dengan kerutan di dahi.
Baru kali ini, baru detik ini. Sepanjang hidupku di dalam istana, aku
tidak pernah menyaksikan hari eksekusi. Jika Takerou tidak jadi dieksekusi,
mungkin sampai mati pun aku tidak akan tahu seseorang yang harus mati karena
menjadi pelaku terdakwa.
Anehnya, aku tidak ingin Takerou terpenggal hari ini.
“Ayah! Tolong hentikan eksekusi ini! Kau telah membunuh orang yang tak
bersalah‼” Suaraku berbisik kepadanya. Tanpa memandang ke arahku, ayah menyahut
dengan suara yang terdengar marah.
“Apa maksudmu?!! Dia sudah berdosa telah mencoba meniduri saudarimu‼!
Apa kau sudah gila?!”
“Ayah,
kaulah yang membawanya pulang saat berlayar ke negara Goryo, dan inikah
pemberian belas kasihmu padanya?!” Namun suaraku hilang ketika pelaksanaan
eksekusi perlahan terbit.
Seorang
jaksa dengan pakaian kimononya yang ditutup oleh penutup dada berlapis emas,
mirip seperti pakaian jenderal yang sekarang sedang aku gunakan, mulai
membacakan sesuatu dari gulungan perkamen yang dibawanya.
Bahwasanya Ashigaka Takerou telah divonis mati karena terbukti melakukan
tindakan tak senonoh kepada Tuan Puteri Ashigaka, sebelumnya ia akan menerima
siksaan sebanyak lima kali apabila ia tidak mengaku kesalahannya.
Genggaman tanganku mulai mengepal, kulirik ke arah di mana tombak-tombak
telah berpindah tangan kepada para prajurit panitia eksekusi.
“Jawab dengan jujur, Ashigaka~sama. Apakah Anda telah melakukan
hal keji pada tuan puteri Touko?!” Kulihat Takerou mengangguk cepat, tatapannya
mengarah pada jaksa pembaca perkamen.
Tombak dengan ujungnya yang tajam itu mulai melayang ke arah Takerou.
Salah satu prajurit itu menusuk tepat ke perutnya dengan tombak itu, semburat cairan
merah merembes membasahi kimono putihnya. Takerou sontak terhenyak, membuat
wajahnya terlonjak menatap ke bawah, seolah ingin menyaksikan apa yang sedang
terjadi dengan dirinya.
Sekali lagi jaksa itu mengucapkan hal yang sama, kemudian Takerou
menjawab dengan jawaban yang menandakan ia tidak melakukan apapun. Kembali lagi
tombak itu menusuknya, kini ia menggerang.
Rasa sakit itu menggerogoti organ dalamnya, sesekali wajahnya terangkat
dengan bibir terbuka penuh dengan warna merah. Dua kali tombak itu menembus
tubuhnya namun tidak memberikan reaksi apa-apa.
Orang-orang di atas kursi pejabat menatapnya ngeri. Rasanya aku ingin
memarahi ayahku, dengan adanya nama Ashigaka dalam tubuh Takerou sudah
sepantasnya ia diperlakukan seperti anaknya sendiri.
Namun apa ini?! Ini sama saja ayah sedang mempermalukan dirinya sendiri.
Ashigaka Takerou mencabuli saudari tirinya?!
“Jawab dengan jujur‼ Apa benar kau telah mencabuli tuan puteri Touko‼‼”
“Bu…bukan aku…aku tidak…pernah melakukan itu…pada…Tuan Puteri…” Ucapan
itu terpotong tiba-tiba yang disusul dengan erangannya yang semakin panjang.
Mencoba menghentikan aksi para penyanderanya namun dia tidak bisa melakukan
apa-apa.
Dari balik kursi tampak sedikit bergetar, kedua tangannya yang terikat
mencoba untuk memberontak. Takerou tidak dipenggal tapi dibunuh secara
perlahan.
“Ayah‼! Hentikan eksekusi ini‼”
“Apa maksudmu, Rurou‼ kembali ke tempat dudukmu‼ Atau kau ingin bernasib
sama dengan dia?!” Aku tak menjawab, keheningan membuncah sesaat membisukanku,
sementara suara erangan dari neraka kembali memekakkan pendengaranku.
Takerou seperti menelan darahnya sendiri, terkesiap dengan tombak yang
sama, menyiratkan warna merah dan membasahi kimono putihnya.
Kimono polos dijahit untuk dikenakan oleh pelaku terpidana dan diwarnai
dengan darah.
Sampai pada akhirnya aku membulatkan tekadku, alibiku berkata aku harus
membawa Takerou pergi dari tempat eksekusi.
Terik matahari semakin membakar kulit, kulit Takerou yang putih bersih itu
kini bercampur dengan darahnya sendiri, napasnya yang terengah-engah terdengar
jelas di telinga.
Darah, keringat, dan air mata mulai membasahi tubuhnya. Air mata itu.
Kedua matanya berair, entah ia menangis atau tidak, kondisinya sebagai peserta
eksekusi mati sudah menunjukkan semuanya dengan jelas. Sementara bibir Takerou
mulai terasa kelu.
Ia tidak lagi bisa mengucapkan
perkataan yang sama meski prajurit eksekusi mati terus memaksanya untuk
mengaku, dan jika pertanyaan yang sama terus menagihnya, tidak ada kesempatan
lagi untuknya bisa bertahan hidup.
Sebentar lagi dia akan mati. Di luar apa yang diduga ayah, aku pun
meloncat dari tempatku terdiam, tak mendengarkan suara ayah yang berseru hendak
menghardikku, sebagian pejabat istana menoleh ke arah di mana mereka sadari
bahwa aku sedang berada di atas mereka.
Keributan mulai bergemuruh di sela-sela mereka ketika secara tak terduga
putera mahkota keluarga Ashigaka tidak sedang terdiam di kursi kebanggaannya.
Ia meloncat bak ninja kelas kakap, tanpa berpikir panjang aku memasuki
pelataran istana, dan meraih tombak yang sudah berbekas oleh darah Takerou. Menyerang
prajurit yang telah melukai kakakku.
Keriuhan di teras istana mulai membuncah, suara teriakan ayah yang
mencoba menghentikan diriku akhirnya menyeruak.
Sementara itu, aku berusaha melepas ikatan tali yang memblokir kedua
tangannya, melepaskannya dan mulai mencoba membopong tubuhnya yang lemah.
“Aa…Ashigaka~sama…” Suaranya lirih memanggilku, matanya melirikku
seiring kepalanya mulai terkulai ke samping, seolah butuh sandaran.
Aku membawa tubuhnya ada bersamaku, pergi meninggalkan tempat eksekusi.
“A…Ashigaka~sama…”
“Tidak
usah bicara! Bertahanlah! Semoga ada dokter istana yang bisa mengobatimu!”
Seruku tanpa mengiyakan ucapan dirinya. Dengan baju zirah yang masih terpasang
di tubuhku, dengan Takerou ysng masih mengenakan kimono putih yang
berdarah-darah, aku menyelusuri koridor istana. Suara lantai yang terbuat dari
kayu berderak seiring langkahku bergetar.
“Kenapa…anda…menyelamatkan…saya”
“Tidak ada waktu untukmu bertanya padaku!
Tetap sadarlah‼” Baru beberapa saat kemudian ketika dia terdiam setelah
mendengar ucapanku, ia pun berucap.
“Aku tidak pernah melakukan hal keji pada adikmu, Ashigaka~sama.”
Dengan suara seolah memeras sesuatu dalam genggamannya.
Ya, aku tahu dia tidak akan melakukan hal itu. Dia hanya seorang
pendatang baru yang dipekerjakan ayah sebagai penjaga kebun istana, dan
menambahkannya dengan nama marga juga bukan ideku. Semuanya dari ayah. Apa
maksud ayah melakukan itu? Apa dia mencoba membunuhnya!
Bergegas aku pergi ke ruang medis dan meminta kepada beberapa dokter
untuk mengobati luka Takerou. Kau tahu bagaimana aku akan menjawab pertanyaan
mereka?!
“Dia adalah kakakku! Ashigaka Takerou!” Dan mereka pun bergegas memenuhi
perintahku.
Tak lama setelah itu, seseorang muncul dari pintu keluar, melapor
kepadaku tentang situasi di luar istana. Tampak ekspresinya menyiratkan rasa
tergesa-gesa.
“Ashigaka~sama‼ Yang Mulia menginginkan anda segera kembali ke
tempat eksekusi‼ Hari ini eksekusi mati masih berlanjut‼”
Apa apaan ini?!
“Tidak usah mempedulikan ayahku‼ Mengapa begitu mudahnya dia
mengeksekusi anaknya sendiri?!”
“Ta…tapi, Ashigaka~sama. Mereka…pasukan khusus sedang berjalan
kemari‼” Aku membulatkan mataku, sepertinya aku kurang melangkah jauh hanya
untuk membawa Takerou pergi. Minimal aku membawanya keluar dari istana.
Namun sesuatu mengingatkanku pada satu hal, alas koridor istana adalah
sebagiannya berasal dari kayu, tanpa kusadari dari awal darah Takerou menetes
meninggalkan jejak. Seiring aku melangkah membawanya melarikan diri.
Social Footer