Breaking News

Menjadi damai di tengah badai



Menjadi Damai di Tengah Badai

Namaku Riri, aku adalah anak perempuan terakhir dari dua bersaudara, Sejak kecil, aku sering merasa seperti perahu kecil di tengah samudra yang gelisah. Ombak bernama pertikaian  datang silih berganti, menghantam hatiku yang belum tahu banyak tentang dunia. Suatu pagi yang tak akan kulupa, mereka bertengkar hebat, teriakan menggema seperti petir di langit gubuk kami. Saat itu, entah dari mana datangnya keberanian, aku memberanikan diri menjadi penengah. Dengan suara kecil yang gemetar, aku memohon agar mereka berhenti.

Dan ajaibnya, mereka benar-benar berhenti.

Aku tumbuh dalam bayang-bayang luka-luka yang tak selalu terlihat. Ayah, sebut saja dengan sebutan (penyemangat) menjadi sosok yang paling dekat denganku, seperti jangkar yang menahan hatiku tetap bertahan. Tapi seiring waktu berjalan, badai lain datang, saudaraku, sebut saja (darah) yang merasa tak pernah cukup dicintai, menyakiti sang penyemangat ku. Bukan hanya secara fisik, tapi juga batin. Aku hanya bisa menatap kehancuran itu sambil menggenggam sisa-sisa kesabaran.

Kini, penyemangat ku terbaring sakit. Badannya lemah, suaranya lirih. Aku dan ibu sebut saja (pelitaku) merawatnya, tapi di antara kami tetap ada jarak yang dingin. Pelitaku seolah tak benar-benar melihatku tak benar-benar mendengar apa yang ku butuhkan. Aku bicara, tapi jawabannya selalu datang terlambat, atau tak sesuai harapan. Padahal aku hanya ingin dimengerti.

Aku bukan anak kecil lagi, tapi luka masa kecil masih tinggal. Setiap hari aku mencoba menjadi damai itu, menjadi penghangat di rumah yang dingin, menjadi suara tenang di tengah riuh. Aku tahu, tidak mudah menjadi jembatan saat tanah di kedua sisi retak. Tapi aku percaya, mungkin inilah takdirku, bukan untuk menjadi pengadu nasib, tapi menjadi pengubah nasib.

Aku bukan pahlawan. Aku hanya anak yang ingin keluarganya utuh, walau penuh retak. Meski badai terus datang, aku tak akan menyerah. Karena aku percaya, ada cahaya yang tumbuh dari luka. Dan mungkin, akulah cahaya itu.

Kadang, malam-malam terasa panjang. Aku duduk di samping ranjang penyemangat ku, memandangi wajahnya yang pucat. Di antara helaan napasnya yang berat, ada kisah hidup yang belum sempat selesai. Aku tahu, di balik diamnya, ia menyimpan banyak luka, bukan hanya dari sakit yang menggerogoti tubuhnya, tapi juga dari pengkhianatan anak yang pernah ia banggakan.

"Ayah masih ingat waktu kita naik sepeda ke sawah sore-sore?" tanyaku pelan, mencoba menggali kenangan.

Penyemangatku membuka matanya sedikit, lalu tersenyum lemah. "Kamu ketika kecil selalu bawa bekal sendiri. Mie goreng dan air minum di botol."

Aku tersenyum sambil menjawab "Ayah yang ngajarin."

Itu percakapan pendek, tapi cukup untuk menghangatkan hatiku semalam suntuk.

Di ruang lain, pelita ku sedang memasak bubur. Aku bisa mencium aroma jahe dari arah dapur, tapi bukan aroma itu yang kurindukan. Yang kurindukan adalah sapaan lembut, pelukan, atau sekadar tanya: ‘Kamu capek nak?’

Namun itu jarang datang. Pelitaku terlalu sibuk mengatur, menuntut, menasihati. Aku tahu itu bentuk cintanya, tapi kenapa cintanya tak bisa bicara dalam bahasa yang aku mengerti?

Pernah, aku memberanikan diri berkata, “Bu, aku juga ingin dipeluk.”

Tapi pelitaku hanya menjawab, “Peluk itu buat anak kecil. Kamu sudah besar.”

Dan malam itu, aku tahu bahwa ada jarak yang lebih dingin daripada musim hujan, jarak antara harapan dan kenyataan.

Kini, kebingungan lain datang. Aku harus segera kembali ke tempat dimana ilmu ku cari, Jika aku tak kembali dalam waktu dekat, beasiswaku akan dicabut. Tapi bagaimana bisa aku pergi saat penyemangatku masih seperti ini, saat rumah masih sepi dan rapuh, saat pelitaku masih butuh bantuan walau tak pernah meminta?

Aku duduk di kamar, memandangi tas yang belum aku penuhi. Di kepalaku, suara temanku menyarankan agar aku segera kembali. Tapi di hatiku, suara kecil terus berbisik: Kalau kamu pergi, siapa yang akan jaga mereka?

Pergi terasa seperti pengkhianatan, tapi tinggal pun seperti pengorbanan yang tak pernah selesai. Dan sekali lagi, aku memilih menjadi damai. Bukan karena aku lemah. Tapi karena aku percaya kalau bukan aku, siapa lagi?

Sejak darah dikurung karena perbuatan buruknya terhadap penyemangatku, gubuk kami berubah. Tak ada lagi suara gaduh, tapi juga tak ada damai yang utuh. Pelitaku sendiri yang mengadukan kejadian itu. Aku tahu, itu pilihan yang berat baginya sebagai seorang pelita. Tapi luka penyemangatku juga  terlalu dalam untuk dibiarkan begitu saja.

Dan aku… aku terjebak di antara semuanya.

Setiap malam aku bertanya dalam hati, apakah darah itu akan membenci kami? Apakah saat ia keluar nanti, dendamnya akan lebih besar daripada luka yang kami alami?

Aku tak tahu. Tak ada jawaban yang pasti. Yang kutahu hanya satu,  aku takut.

Bukan takut akan bahaya fisik, tapi takut akan kehilangan semuanya, keluarga, kepercayaan, bahkan sisa-sisa cinta yang masih bertahan di gubuk ini.

Aku ingin menjadi damai. Aku mencoba menjadi damai. Tapi bagaimana jika pada akhirnya, badai yang sebenarnya… belum datang?

Aku menatap langit dari jendela mendung.

Dan aku masih di sini. Menunggu, menunggu hikmah kebaikan dari semua cobaan ini


Penulis : Sri lestari

Cari sesuatu di sini

Close