sumber gambar: freepik.com |
Oleh: Mashuri
Tahun 2018 Telah Berakhir dengan tetap meninggalkan banyak persoalan
di dunia pendidika khususnya di STITMA yang dulunya adalah Kampus Religi Penuh
Solusi akan tetapi apa? Sekarang berubah bagaikan kampus Elit yang sudah berlebel
Nasional dengan ikut Berlomba atau Berkompetisi menceburkan diri kedalam pasar
Neoliberalisme menuju Label Word Classuniversity. Kampus dengan biaya kuliah
mahal, rawan korupsi, dan tidak memberikan hak-hak dasar mahasiswanya, seperti
fasilitas kuliah yang tidak layak, serta ruang kebebasan berorganisasi yang
seperti dibatasi, pastinya akan memicu protes dari mahasiswa sebagai kelompok
mayoritas di kampus. Sekali lagi satu teori yang tak pernah usang diberangus
zaman dicetuskan oleh mbah jenggot “Karl Mark” bahwa keadaan sosial akan
mempengaruhi kesadaran sosial, dan seperti itulah kampus yang menciptakan
sebuah keadaan yang jauh dari kenyataan kongkret, sehingga perlu adanya
Revolusi Mahasiswa untuk merubah keadaan tersebut, dan apalagi ketika katanya
hari ini STITMA mau beralih status menjadi IAINU, yang justru kembali lagi apa
mahasiswanya yang menjadi korbannya, kampus yang dulunya menjadi kampus Religi
Penuh Solusi tapi kali ini adalah bagaikan kampus kelompok-kelompok
kapitalisme.
Kampus STITMA adalah dengan berlandaskan Nilai-nilai Ajaran Islam
Ahlusunnah Wal Jamaah An-nahdliyah, kenapa justru anti terhadap kritikan
mahasiswanya sendiri? Apakah Islam juga anti terhadap kritikan?
Kita harus kembali mengingat kisah tauladan Rasulullah SAW. Sebagai
pemimpin yang besar yang juga pernah di kritik oleh kaumnya, salah satunya
kisah Rasulullah SAW tentang kritik yang disampaikan Umar bin Khatab, yakni
kepada orang-orang munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul mati dan anaknya yang
bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul yang muslim memberitahukan
kepada Rasulullah SAW, perihal kematian ayahnya yang munafik itu, lalu
Rasulullah SAW dengan sejumlah sahabatnya melakukan sholat jenazah, Umar
menolak dengan keras, mengkritik dan menentang keputusan Rasulullah SAW tentang
sholat jenazah orang munafik, ternyata tindakan Umar dibenarkan oleh wahyu
Allah yang melarang Nabi melakukan sholat atas orang-orang munafik dan
orang-orang fasik yang mati, hal ini termasuk dalam firman Allah (Q.S
9/At-Taubah:84) setelah kejadian tersebut Rasulullah SAW tidak memarahi Umar
atau bahkan membenci Umar bahkan Rasulullah SAW mengucapkan terima kasih dan
meminta maaf kepada Umar karena kritikannya tidak didengar.
Dari kisah Rasulullah SAW yang menghadapi kritikan di zamannya,
tentu sangatlah berbeda dari sikap ketua STITMA yang juga menerima kritikan
daei mahasiswanya sendiri yang secara tidak langsung menghambat kemajuan kampus
yang berwawasan Intelektual yang bernuansa Islam.
Tidak banyak juga mahasiswa yang keluar dari STITMA karena
peraturan-peraturan yang tidak sesuai dari Realita yang ada, dan malah sangat
merugikan banyak mahasiswanya, sekarang apa? Uang terus yang didahulukan bukan
kepintaran mahasiswanya tersebut dan saya juga pun berani mengkritik mahasiswanya
karena apa sudah tau dia termasuk dalam kelompok mahasiswa yang tertindas akan
tetapi kenapa kok justru malah apatis tidak berani mengkritik Birokrasi, Ouh
iya say baru faham mungkin ada sebagian mahsiswa takut nilainya bakal jelek
kalau semisal berani mengkritik dosennya. Tapi ingatlah sahabat ini adalah
mahasiswa bukan lagi seperti siswa, dan mahasiswa tugasnya justru lebih berat
dari siswa yang notabenya harus berani mengkritik jajaran birokrasi kampus,
janganlah menjadi mahasiswa yang abal-abal yang hanya mementingkan individu dan
juga maunya pengen lulus cepet dan tidak ada masalah sedikitpun, Okelah saya
bisa memaklumi itu, akan tetapi apa Apakah sahabat rela selalu akana menjadi
bagian-bagian dari kelompok yang ditindas. (Janganlah menjadi mahasiswa yang
mencari Aman saja).
Sebagai Agent of Change sudah selayaknya mahasiswa melakukan
perubahan terhadap masyarakat, terutama di awali dilingkup kecil kampus karena
apa kampus bagaikan miniatur sebuah negara kecil, sebagai seorang intelektual
mahasiswa juga di harapkan sebagai pengontrol sosial. Karena apa mahasiswa
adalah merupakan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan
tinggi yang makin menyatu dengan
masyarakat di didik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual. Oleh karena
itu, pola kritis mahasiswa berperan aktif dalam pengaruh sosial.
Ada juga memang mahasiswa yang apatis terhadap apapun yang terjadi
disekitarnya. Bahkan jumlahnya lebih besar di banding yang terus peduli pada
permasalahan sosial, pasalnya mahasiswa kupu-kupu (kuliah - pulang, kuliah - pulang ) karena apa ia merasa sudah terbebani dengan tugas kuliah yang kian
hari semakin banyak. Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) memaksa mahasiswa
sebagai pusat pembelajaran, tak ada waktu untuk mengurusi kebijakan kampus
maupun biaya kuliah yang semakin tahun semakin mahal dan tidak sesuai dengan
fasilitas yang diberikan.
Uang kerap kali membuat sensitif kampusku lebih populer tidak
menerima kritikan meskipun dari mahasiswanya sendiri, biaya kuliah yang dibayarkan
mahasiswanya jarang sekali di transparasikan oleh birokrasi kampus. Ketimpangan
ini sungguh sangat bertolak belakang dengan kondisi di perguruan-perguruan
negeri, kampus yang di biayai oleh pemerintah ini lebih transparan dalam
laporan keuangan kepada mahasiswa, sementara kampus swasta Adem, Ayem saja
dengan keuangan mahalnya biaya-biaya perkuliahan yang mencapai langit sekalipun
tidak akan pernah di sebutkan
perinciannya secara detail kepada mahasiswa dan kami sebagai mahasiswa
ibarat rakyat kecil yang tidak berhak mengutak atik apapun dari kebijakan
birokrasi kampus.
Mahasiswa swlalu menghadirkan suasana dimana emosi mudah sekali
bergejolak dinamika kampus yang syarak akan demokrasi memberi ruang bagi para
mahasiswa untuk menegakkan keadilan sosial, sudah menjadi rahasia umum ketika
aspirasi mahasiswa tidak ditanggapi secara serius, maka apa jalan satu-satunya
adalah aksi demontrasi menjadi jalan terakhir.
Ingat jangan sekali-kali remehkan mahasiswa bukankah anda sudah
membaca sejarah-sejarah telah mencatat gerakan reformasi pada th 1998 yang
berhasil dilakukan ribuan mahasiswa indonesia untuk menumbangkan orde baru saat
itu, dan pihak kampus seharusnya menerima kritikanku tersebut dengan lapang dad
sebagai bentuk keperdulianku untuk memperbaiki kulitas perguruan tinggi. Selain
itu, kontrol sosial ini juga akan bermanfaat sebagai upaya untuk perbaikan
kinerja Akademisi kampus.
Tentang Penulis
Mashuri, Lahir di Desa Banyubang Kec. Grabagan Kab. Tuban adalah Alumnus MA Syi’ar
Islam Maibit Selanjutnya pada Tahun 2016 Mengenyam Pendidikan di Sekolah Tinggi
Ilmu Tarbiyah Makhdum Ibrahim (STITMA) Mengambil Jurusan Pendidikan Agama Islam
(PAI) dan Pada Tahun 2019/2020 Menjadi Bagian dari Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa
BEM.
Social Footer